Iklan

BudayaFeaturedKolomOpiniSosial

Muna sebagai Universitas Politik

kumebano
Jumat, 13 Mei 2016, 14.42 WIB
Last Updated 2022-04-21T23:35:01Z WIB
Advertisement
Ilustrasi (Foto by rul-sq.info)

Jika ingin belajar politik, datanglah di Muna.

Kurang lebih demikian adagium yang berkembang di tengah anak-anak muda masyarakat Muna. Entah siapa orang pertama yang menyulut kalimat itu, saya tak tahu persisnya.  Semoga anda bisa memberitahu saya.. Tapi terdapat selentingan kabar, bahwa ungkapan itu pernah disampaikan oleh beberapa tokoh nasional yang pernah berkunjung di Muna, diantaranya La Ode Akbar Tanjung, Andi Alfian Malarangeng dan yang terakhir ini Adhyaksa Dault. Memang, setidaknya begitulah kenyataanya.

Di Muna, menurut cerita tutur yang dipelihara para tetua adat sejak dahulu, pergantian kekuasaan Kerajaan selalu berakhir tragis.  Untuk itulah mungkin, warga Muna begitu peka untuk soal-soal politik dan pergantian kekuasaan, dari tingkat Desa hingga Kabupaten apatah lagi tingkat Propinsi dan Nasional.  Konon, untuk beberapa alasan itulah politik lebih intens didiskusikan. Sudah sejak dahulu hingga saat ini, dari kaum tani hingga kaum terpelajarnya mereka menyukai isu-isu politik. Setidaknya begitulah. Sampai-sampai ada yang mengatakan, jika bertemu dua anak muda yang berasal dari Muna, pastilah mereka membincangkan politik.

Dilihat dari berbagai sudut penerawangan, tentu tidak berlebihan jika dikatakan memang politik begitu nikmat dan teramat lezat untuk tidak dibicarakan. Disini, dari pagi hingga pagi lagi, politik menjadi trending topic yang seolah tak habis-habisnya untuk diulas dan dibahas. Tapi anda jangan salah. Disini, politik dimaknai bukan sebagai sarana mencapai tujuan. Di Muna, politik dapat ditafsir kembali. Terserah anda mau mendefenisikannya sebagai apa saja. Alat untuk membunuh kawan dan merangkul kawan? itu terserah anda. Walau kadang saya begitu sulit memisahkan makna politik dan syiasat dalam sudut pandang ke-Muna-an.

Barangkali karena sebagian alasan itu pula-lah, sehingga membicarakan politik begitu mengasyikan. Apatah lagi kita khususkan di ajang Pilkada Serentak yang dihelat Muna pada 9 Desember 2015 lalu, yang jelas-jelas belum juga menemui titik akhirnya, tentu ini menjadi topik yang begitu menarik. Dan anda tentu sudah membayangkan, bahwa inilah bagian yang paling serunya. Yaitu, politik akan semakin intens dan hangat dibincangkan dikalangan warga. Semakin lama jeda waktu sebelum lahirnya pemimpin baru (Bupati), ketika itu diskusi semakin pesat, hangat bahkan kadang-kadang panas.

Seyognya, putusan Sela Mahkamah Konstitusi yang mem-PSU kan 3 TPS sudah menghasilkan putusan akhir. Tapi yah beginilah kawan. Ini Indonesia dan ini juga politik. Segala kemungkinan bisa terjadi. Konon, politik itu adalah seni memanfaatkan kemungkinan. Dengan itu, proses politik ini akhirnya memunculkan spekulasi dan analisa politik baru. Bagaimana tidak, Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang ditunggu-tunggu pada hari Kamis, 12 Mei 2016 kemarin, dengan Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016 dirilis melalui situs resmi Mahkamah Konstitusi RI www.mahkamahkonstitusi.org memutuskan kembali memerintahkan KPU untuk melaksanakan PSU di 2 TPS.


Foto by uny.ac.id


Walaupun semestinya Pilkada Serentak sejak 9 Desember 2015 lalu, berbagai Kepala Daerah terpilih sebagian besar mulai menunjukkan kerja-kerjanya. Tapi kawan, ini di Muna. Segala kemungkinan di sini bisa berubah. Sekali lagi kawan, itu kabupaten lain, dan aku katakan kepadamu, Muna berbeda. Kawan, politik itu bukan sekedar sarana mencapai tujuan. Bukan pula bentuk ikhtiar untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Kawan, politik itu kerja yang tidak berkesudahan. Jika politik untuk tujuan-tujuan itu, tentu proses pemilihan ini tak sehangat ini. Tapi lagi-lagi kawan, ini Muna dan di sini segalanya berbeda.

Memang disadari, jauh sebelum Pilkada Serentak dimulai 9 Desember 2015 lalu, energi publik Muna mulai dikerahkan untuk kerja-kerja politik. Berbagai spekulasi dan analisa politik yang berkembang sejak 9 Desember 2015 telah menguras energi kita semua. Lalu berlanjut dengan sengketa ke Mahkamah Konstitusi yang berujung PSU (Pemungutan Suara Ulang) sampai pada hari ini (13 Mei 2016) tentu akan terus menguras energi publik. Namun demikian, kerja-kerja politik di ajang pemilihan kepala daerah yang panjang ini semoga saja berbuah manis. PSU ini semoga bisa melairkan pemimpin daerah yang mampu mendobrak kejumudan bagi kemajuan Muna seperti Arok yang mendobrak kejumudan Pekuwuan Mataram.

Mengutip pesan para leluhur, "Hansuru-hansuru badja sumano kono hansuru liwu. Hansuru-hansuru liwu, sumano kono hansuru adjati. Hansuru-hansuru adjati, sumano kono hansuru agama.".

Bilangan 13 Mei, 2016