Ilustrasi. Payung hukum. (Foto: istockphoto.com) |
"Dikotomi antara semangat melindungi sumberdaya dan gelora pembangunan, sama artinya tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi." kata saya.
Operasi Tangkap Tangan atau OTT terhadap M. Sanusi, Anggota DPRD DKI
Jakarta sekaligus Ketua Komisi D, membuka mata kita betapa ruang pesisir
dan laut memiliki nilai strategis dan penting dalam arena pembangunan
beberapa dasawarsa terakhir ini. Beberapa pakar menyebut semangat
pembangunan ke depan senantiasa akan berorientasi ke dan dari laut.
Sumber penopang kehidupan hingga strategi politik pada dekade ke depan
jauh lebih banyak akan bersentuhan dengan laut dan kelautan. Tak heran
Presiden Joko Widodo mengambil titik tolak visi pembangunan yang hendak
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
PodomoroGate
sebut saja begitu supaya keren-keren sedikit, atau kasus Reklamasi
Pantai Utara (Pantura) Jakarta yang kini ditangani KPK RI dengan nilai
suap yang cukup fantastis sebesar Rp.2M bukanlah nilai yang kecil. Kasus
ini memberi kita informasi, bahwa sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil memiliki nilai ekonomi tinggi. Itu baru pada aspek fisiknya saja,
belum aspek sumberdaya hayati (ikan dan non-ikan) dan non-hayati (energi
gelombang, minyak, gas, pasir dan lainnya) maupun jasa-jasa lingkungan
lainnya (pariwisata, diving, dan lainnya), tentu nilai ekonominya tidak
sedikit. Bahkan prediksi para ahli yang merilis nilai ekonomis potensial
untuk sumberdaya ikan saja, angkanya bisa lebih dari separuh nilai APBN
Indonesia saat ini per tahunnya. Fantastis bukan?
Pemerintah DKI
yang merencanakan melakukan reklamasi Pantura yang dalam kegiatannya
melibatkan salah satunya PodomoroGate, akan menghasilkan 17 pulau
buatan. Ingat! PodomoroGate hanya salah satu, salah duanya masih banyak
developer lain yang terlibat. Dari 17 pulau buatan itu saja, sudah
memiliki nilai ekonomi yang luar biasa besar. Suapnya saja 2M. Bagaimana
dengan potensi pulau Indonesia dengan jumlah mencapai lebih dari
17ribuan pulau? Berapa nilai ekonomi yang bisa diperoleh jika dikelola
baik? Berarti 2x17.000 sama dengan 34.000 M. Itu baru angka suapnya.
Fantastis bukan? Lagi-lagi ini belum menyentuh seluruh potensi ekonomi
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu sendiri. Woww..
Lebih dalam, OTT yang kini dipastikan melibatkan PodomoroGate lebih
pada soal Raperda dan prosedur hukum sebuah peraturan perundangan yang
tidak semestinya terkait legalisasi tindakan reklamasi yang telah
dilakukan. Lebih tepatnya terkait legalisasi atas hasil reklamasi yang
membentuk 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta. Sepintas, suap dan
atau korupsi M. Sanusi lumayan kabur tuk dimengerti, terlebih dikaitkan
dengan reklamasi, izin prinsip, izin pengelolaan, kewajiban 5% dan 15%.
Apa hubungan semua itu? Memang, semuanya hanya serpihan. Bagi developer,
suap terkait langsung dengan hak penguasaan dan pemanfaatan lahan atau
tanah hasil reklamasi.
Pada
Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa Rencana Zonasi WP3K
merupakan arahan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil pemprov dan/atau pemkab, yang diselaraskan dengan RTRW pemprov
atau pemkab, pada ayat 2. Sementara pada ayat 4, mengamanatkan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Propinsi untuk memiliki dokumen perencanaan.
Dokumen tersebut dikenal sebagai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dengan masa berlaku 20 tahun yang dapat
direvisi setiap 5 tahun sekali, yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Selain dokumen itu, daerah juga harus memiliki dokumen Rencana
Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) dan dokumen Rencana Aksi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP3K).
Lalu
apa artinya dokumen perencanaan itu? Jika suatu wilayah pesisir
dilakukan pembangunan tanpa perencanaan tentu sesuai UU tadi, dipastikan
akan terjadi tumpang tindih kegiatan. Simpelnya, semrawut. Semua
stakeholder akan merugi, baik secara ekonomi, maupun ekologis, sosial
dan politik. Untuk itu perlu diatur demi kehidupan bersama. Itulah UU
Nomor 27 Tahun 2007.
Dengan demikian menarik untuk dicermati,
oleh karena menjadi jelas bagi kita dengan nalar silogisme untuk
mencerna sembelit izin dan prosedur perundangan terkait kegiatan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Setiap bentuk kegiatan pembangunan di
pesisir tidak boleh berada diluar jangkauan dokumen perencanaan sesuai
amanat UU Nomor 27 Tahun 2007 tadi. Segala kegiatan menjadi terpayungi
secara hukum, melindungi livelihood masyarakat dan lebih penting lagi
menjamin perlindungan lingkungan bagi semua pemangku kepentingan.
Kekeliruan reklamasi Pantura dan atau bentuk kegiatan lainnya bahkan di
berbagai daerah adalah melakukan aktivitas ditempat yang tidak
direncanakan sesuai zonasi pemanfaatannya atau peruntukkannya. Jika
sudah begitu, pasti ada pihak yang dirugikan baik secara ekonomi,
ekologis, sosial, dan lainnya. Padahal prinsip zonasi adalah memastikan
pemanfaatan lahan secara bersama, sehingga tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan dari seluruh aspek kehidupan. Jikapun dirugikan maka dokumen
perencanaan itu telah memberi solusi berupa kompensasi. Jika ada pihak
yang merugi tanpa termasuk penurunan kualitas lingkungan sekalipun,
kegiatan itu tidak dilaksanakan.
Terlepas dari itu, dilema
pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khusus
kegiatan reklamasi tidak hanya terjadi di DKI Jakarta yang kini ramai
dibincangkan. Tapi juga terjadi di kota lain di Indonesia ini. Hemat
saya, di berbagai daerah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu
tersimpan potensi masalah yang tidak sedikit.
Masalah yang
mengemuka khususnya di daerah terkait tiga hal, kebijakan, sumberdaya
manusia dan teknologi. Entah karena sumberdaya ahli pengelola wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang memang masih terbatas (kuantiti dan
kualiti) ataukah pemahaman pelaksana kebijakan yang belum baik oleh
pemerintah daerah ataukah ada indikasi pembiaran atau bahkan mungkin
saja ada kongkalingkong antara pemerintah dan pebisnis yang masuk
wilayah pesisir. Yang saya sebut terakhir itu mengemuka dikasus pantai
utara Jakarta. Dan itu sulit dibantah bukan..?
Mau tau potensi
masalah dari aktivitas pembangunan wilayah pesisir lainnya? Coba cek deh
project reklamasi pantai Losari, Makassar yang lebih dikenal dengan
Center Point of Indonesia itu, apa sudah tepat. Coba cek pula
pembangunan jembatan Bahteramas di Teluk Kendari? Apa sudah tepat? Teluk
Kendari makin dangkal bukan? Kabar yang beredar bahkan Teluk Ambon
Bagian Dalam juga terindikasi hal serupa dan tentu tidak ketinggalan
banyak wilayah lainnya. Yah itulah setumpuk fakta yang butuh
penyelesaian jika dianggap bermasalah. Tapi bukan berarti bahwa dengan
alasan-alasan prosedural hukum itu, lalu pembangunan di wilayah pesisir
harus kita tolak. Atau oleh karena menghilangkan ekosistem karang dan
berbagai jenis habitat organisme laut, lantas reklamasi kita tolak. No!
Keliru bung, bagi saya melindungi sumberdaya laut dan seluruh
komponennya itu penting, pembangunan juga penting. Justru dengan
pengetahuan dan teknologi yang kita milikilah mestinya pembangunan dan
perlindungan sumberdaya laut itu diselaraskan.
Saya tidak sedang
mengatakan bahwa daerah-daerah itu izin-izin reklamasi maupun kegiatan
lainnya bermasalah, atau kegiatan pembangunan wilayah pesisirnya tidak
didasarkan pada Perda RZWP3K dan seterusnya lho.. Tapi cobalah anda cek
sendiri. Saya juga tidak ingin bicara soal kasus suap bahkan sebelum
atau sesudah diringkusnya M. Sanusi, tetapi semata soal sembelit bahkan
semrawutnya sistem perizinan di republik ini, potensial menjerat siapa
saja ke ranah tindak pidana korupsi.
Khusus untuk penataan ruang
wilayah pesisir dan laut dari sisi kebijakan dan peraturan perundangan
yang dibutuhkan seyogyanya relatif sudah komprehensif, setidaknya
begitu. Hanya saja pada tataran pelaksanaan kebijakan, daerah terkesan
belum mampu menghadirkan dokumen perencanaan sesuai amanat UU Nomor 27
Tahun 2007 itu. Anda tentu tau masalahnya, ini terkait sumberdaya daya
manusia yang memang dan masih terbatas. Ahli-ahli pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil belum dimiliki. Jikapun ada, daerah belum
manfaatkan mereka.
Padahal, setelah diundangkannya UU Nomor 27
Tahun 2007 yang diubah beberapa pasal dengan UU Nomor 1 tahun 2014, UU
Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, jelas sekali kewajiban daerah
untuk miliki Perencanaan Strategis, Zonasi, Pengelolaan dan Rencana Aksi
maupun Penataan Ruang Laut ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda). Memang dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 sebelum perubahan,
kewenangan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Pemerintah
Propinsi sejauh 12 mil sementara Kabupaten 1/3 dari luas kewenangan
Propinsi. Namun sampai dengan tahun 2014 banyak daerah yang belum juga
mengatur atau belum menerbitkan Perda RZWP3K dan segala turunannya,
akibatnya sejak diundangkan hingga 2013 banyak daerah termasuk Jakarta
tidak punya RZWP3K.
Foto by Tribun Makassar |
Dengan memiliki dokumen perencanaan itu,
daerah menindaklanjuti dalam berbagai bentuk perizinan maupun segala
turunannya, agar segala aktivitas di wilayah pesisir dapat terarah
sesuai rencana. Jika dalam pelaksanaannya ditemukan masalah, ya direvisi
pada periode berikutnya. Tapi nyatanya pemerintah daerah tingkat
kabupaten tidak mampu melaksanakan kewenangan pengelolaan wilayah
pesisir. Sehingga pada UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, pada Pasal 1 ayat 2, perubahan atas Pasal 14 yang
seolah mengkerdilkan hak dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota hanya
sekedar pengusul.
Advertisement
Mari sedikit fokus ke Reklamasi Pantura
Jakarta, bukankah dari sisi hukum sesuai UU yang ada, bagi saya agak
sulit menghindar dari KPK, oleh karena secara hukum semuanya telah
diatur. Hemat saya, bahkan MenKP sekalipun bisa saja terjerat oleh
karena tidak menjalankan kewenangan konstitusionalnya sebagai regulator
pembangunan, sebagaimana diatur dalam pasal 26A ayat 1 UU Nomor 1 tahun
2014. Pihak gubernur pun demikian, overlaping kewenangan. Saya tidak
menemukan kewenangan diksresi seorang Gubernur yang menerbitkan izin
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa
landasan hukum. Untuk ini saya #GagalPaham.
Peta Reklamasi Pantai Utara Jakarta |
Logika kebijakan dan peraturan perundangan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, bukanlah untuk menghalangi aktivitas pembangunan.
Untuk itulah dilakukan zonasi. Keliru jika dianggap kawasan pesisir dan
pulau-pulau tidak boleh atau haram dilakukan pembangunan atau bahkan
reklamasi sekalipun. Pembangunan penting, tetapi perlu
pertimbangan-pertimbangan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan
lingkungan, baik aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan lingkungan
bahkan budaya. Barangkali informasi ini yang mesti diluruskan dan
disampaikan sebagai bahan sekaligus kontra-argumentasi kepada para
pemerhati lingkungan.
Bagaimanapun, dalam UU No. 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengharuskan
adanya dokumen RTRW yang disahkan oleh Pemerintah Propinsi, dalam bentuk
Perda. Kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta memberi pelajaran penting
kepada banyak daerah. Bahwa kekosongan hukum sebelum disahkannya Perda
RZWP3K dapat diisi dengan Perda Rencana Tataruang (Monggo yang ahli
Tataruang).
Pertanyaan pentingnya, bagaimana nasib pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah lain di Indonesia?
Dari sisi kebijakan, sudah barang tentu memiliki potensi masalah yang
hampir tak berbeda dengan Jakarta. Boleh jadi aroma kongkalingkong dalam
proses penyusunan dokumen perencanaan amanat UU Nomor 27 Tahun 2007
menjadi hal biasa, dan tentu ini tidak bisa diabaikan. DKI Jakarta sudah
membuktikan. Banyak daerah di Indonesia yang patut disorot, utamanya
soal prosedur hukum penerbitan perizinan usaha atau kegiatan wilayah
pesisir. Belum lagi perubahan kewenangan dari UU 27 Tahun 2007 ke UU
Nomor 1 Tahun 2014 juga menarik untuk ditelusuri oleh KPK. Mengapa?
Karena kewenangan pengelolaan wilayah pesisir yang sebelumnya dibawah
kendali pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun dan menetapkan RZWP3K
untuk 1/3 kewenangan Propinsi justru ditarik ke tingkat Propinsi
seluruhnya dan hanya menyisahkan hak usul kabupaten.
![]() |
Rancangan Induk Reklamasi makassar (Foto by Tribun Makassar) |
Selain
kebijakan, sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi dalam menopang
pembangunan di daerah menjadi persoalan tersendiri. Jangan sampai daerah
berhenti membangun hanya karena urusan ketentuan peraturan perundangan
yang ruwet dan menaikan asam urat itu. Namun jangan pula pembangunan
yang justru merusak lingkungan justru digelorakan pemerintah daerah,
seperti pembangunan wilayah pesisir kabupaten Muna ini. Keselarasan
menjadi kata kunci semangat pembangunan ke depan.
Namun demikian,
melihat fenomena yang ada boleh jadi setiap kepala daerah potensial
terjerat kasus hukum serupa. Belum lagi mekanisme pengajuan beberapa
izin mesti melalui Kementerian terkait dengan leading sektornya KKP.
Sebagai contoh Penetapan Zona Konservasi Laut Daerah atau kebijakan
pengelolaan lainnya. Sudahkah sesuai prosedur perundangan?
Saya
hanya kaget saja, tiba-tiba pada satu gugusan pulau di perairan Sulawesi
Tenggara ini, sebut saja di Selat... (yah yang itulah saya maksud)
ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Lho kok bisa?
Padahal setahu saya, draf naskah akademik Rancangan Perda RZWP3K daerah
ini baru diajukan 2015 lalu dan belum dilakukan pembahasan Raperda, tapi
penetapan kawasan konservasi lautnya sudah diterbitkan sejak sebelum
2013 lalu. Ah.. rasanya bukan hanya reklamasi Pantai Utara Jakarta yang
bikin saya lagi-lagi #GagalPaham tapi juga permainan sulap yang apik dan
aduhai ini.
Dari sisi semangat konservasi dan perlindungan
sumberdaya laut, kebijakan ini patut diapresiasi karena ini hal positif.
Tapi apakah kebijakan daerahmu itu sudah memenuhi ketentuan peraturan
perundangan yang ada, utamanya UU 27 tahun 2007?
Rochmady
Founder Mokesano Institut
Direktur Center Study for Coastal and Isle (CSCI)