Ilustrasi Pergantian Siang-Malam (Foto by Republika) |
"Pergantian itu suatu yang niscaya, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan." kata I Ching.
Sudah waktunya "dikoreksi" pandangan hidup para leluhur suku Muna yang
kini masih jadi jalan hidup warga. Salah satunya, "dowura tadowuram,
dofetingke ta dofetingkem" -jika melihat, lihatlah saja, jika mendengar,
dengarkan saja (terjemahan Indonesia).
Mengapa perlu dikoreksi?
Setidaknya pandangan hidup semacam ini membuat orang/warga Muna jadi
vakum, tidak terlibat aktif dalam soal-soal hidup. Tak berbuat apa-apa.
Dampak lebih luasnya, pandangan hidup semacam itu tidak berimplikasi
positif bagi suatu kemajuan masyarakat. Cenderung melindungi status quo.
Sebagai contoh, di perjalanan dari Tampo menuju Raha tiba-tiba saja
melihat kerumunan masa di tengah jalan. Dengan pandangan semacam itu,
dipastikan tidak tahu apa-apa soal kerumunan masa itu. Padahal boleh
jadi orang berkerumun di situ karena melihat tumpukan emas dan perak.
Atau mungkin melihat tumpukan uang. Dan banyak kemungkinan lainnya.
Atau tetiba anda menemukan orang yang terbaring di tengah jalan,
badannya penuh darah, muka memar dan lebam. Dengan suara parau berteriak
minta tolong. Dipastikan dengan ilmu yang sama, tidak banyak yang dapat
diketahui. Mengapa orang itu terbaring? Asalnya dari mana? Siapa
namanya? Dan seterusnya dan seterusnya.
Pandangan hidup atau
prinsip hidup para leluhur itu telah mematikan sifat dasar manusia,
yaitu rasa ingin tahu. Padahal, rasa ingin tahu telah didiskusikan oleh
Socrates hingga Kant, bahkan ilmuwan setelahnya. Bahwasanya fondasi
dasar dari ilmu adalah RASA INGIN TAHU. Sejarah membuktikan, rasa ingin
tahu membawa manusia pada wilayah ilmu. Dengan ilmu itu, banyak sekali
manfaat yang telah kita nikmati bahkan saat anda baca tulisan inipun itu
hasil daripada ilmu. Ilmu yang bahkan telah mengantar manusia sampai ke
bulan.
Rasa ingin tahu itulah yang memberi pijakan, landasan, dasar bagi
manusia sehingga melewati jalan pengamatan, pemeriksaan, penyelidikan,
pembuktian, perenungan dan seterusnya. Rasa ingin tahu itu pula yang
membawa kita pada dunia yang penuh dengan berbagai macam rasa ini.
Jangan lupakan itu.
Namun, salah satu pandangan hidup leluhur
semacam ini telah mematikan semuanya. Walaupun masih banyak pandangan
lainnya mesti juga dikoreksi guna menemukan tempatnya di zaman baru ini.
Olehnya janganlah heran, jika anda datang ke Pulau Muna atau anda yang
baru pulang dari rantau setelah menimba ilmu, uang bahkan kemakmuran
terkaget-kaget menemukan kenyataan ini.
Jalan pengamatan, pemeriksaan,
penyelidikan, pembuktian hingga perenungan dianggap bukanlah milik
setiap manusia "berkepala". Namun dianggap ada pihak-pihak yang memiliki
otoritas penuh atas itu. Ada pihak-pihak yang bertindak sebagai pemilik
tunggal kebenaran. Ada pihak-pihak yang mengambil peran sebagai pemilik
atas hasil-hasil dari rangkaian proses kebenaran dan kebajikan itu. Contoh mutakhir pandangan leluhur "dowura ta dowuram, dofetingke ta
dofetingkem" terlihat jelas dalam PSU Pilkada Muna 22 Maret 2016 lalu.
Saya yakin, haqqul yaqin bahwa sebagian besar warga Muna tak tahu
persis duduk perkara sebab musabab hingga dampak dari proses PSU Pilkada
Muna, 22 Maret 2016 lalu. Jangankan itu, bahkan (mohon maaf) ditengarai
Amar Putusan Sela Mahkamah Konstitusi RI yang dikeluarkan pada 25
Februari 2016 lalu setebal 254 halaman itu, belum pernah dibaca oleh
hampir semua warga. Apakah lagi berharap dokumen setebal itu bisa
dikuliti, dilakukan pengamatan, pemeriksaan, penyelidikan, pembuktian
hingga perenungan. Jangan jangan (mohon maaf) "mereka" yang tidak
membaca dan mengkaji dokumen penting seperti ini adalah penganut setia
pandangan "dowura ta dowuram, dofetingke ta dofetingkem". Bukankah sifat
seperti ini jelas merusak?
Memang dalam beberapa hal, pandangan
hidup "dowura ta dowuram, dofetingke ta dofetingkem" boleh jadi
merupakan bentuk aksara Munanisasi dari ungkapan terkenal para sahabat
"Sa'minah Wata'nah". Perintah itu memiliki makna religius yang tinggi
oleh karena merupakan perintah Allah kepada umat melalui Nabiullah
Muhammad SAW. Ingat, merupakan perintah langsung Alloh SWT. Dengan
demikian "dowura ta dowuram, dofetingke ta dofetingkem" maknanya
bertali-temali dengan "Sa'minah Wata'nah". Kepatuhan tanpa pemeriksaan,
penyelidikan bahkan perenungan. Lakukan saja, lihat ya lihat saja,
dengar ya denger saja, tidak usah banyak bertanya, laksanakan saja.
Tidak perlu telaah mendalam. Ya terima saja.
Jika pemerintah
sudah memutuskan suatu kebijakan begini, ya sebagai rakyat terima saja,
lihat saja, dengar saja tidak perlu bertanya. Karena pemerintah itu
wakil kebenaran di tanah Muna. Hasilnya? Sejak dibentuk hingga hari ini
Muna tidak juga menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang berarti.
Advertisement
Dalam hal ikhwal kebijakan negara atau pemerintah daerah, pandangan
hidup semacam itu justru tidak tepat diaplikasikan. Kebijakan negara
atau pemerintah daerah bukanlah perintah tuhan. Namun dalam hal
Kerasulan dan Kenabian, pandangan hidup itu menjadi tepat. Memang di
tahun 1940-an sempat terjadi perdebatan hebat antara M. Natsir dengan
Ir. Soekarno perihal nalar religius dengan nalar budi.
Perdebatan
antara M. Natsir terdokumentasi dengan baik dalam buku M. Natsir,
"Islam dan Akal Merdeka" dan buku "Islam Sontoloyo" karya Ir. Soekarno.
M. Natsir jelas yang mempersoalkan pendapat Ir. Soekarno perihal mencuci
bekas jilatan anjing sebanyak 7 kali dan 1 kali menggunakan tanah yang
dapat diganti dengan mencucinya cukup dengan deterjen. Bagi Ir.
Soekarno, bahwa ilmu (science) ketika perintah mencuci dengan tanah itu
belum berkembang ilmu mikroba. Dengan demikian cukuplah diperintah
mencuci sebanyak itu dengan tanah.
Bagi M. Natsir, pikiran
semacam itu justru bertentangan dengan akal sehat. Bahwa perintah
bersuci tidak hanya semata-mata urusan mikroba, tapi juga terkandung
makna lain seperti kepatuhan, makna sosial, religius dan lainnya yang
mungkin boleh jadi akal manusia di zaman ini belum dijangkau. Maka
tidaklah cukup hanya dengan kecakapan dalam ilmu mikroba, dalam satu
bidang ilmu saja lalu perintah agama digugurkan. Dengan kepicikan lalu
keluar dari rambu-rambu tuntunan agama. Baginya pada hal tertentu
prinsip agama sudah final dan merasionalisasi tuntunan agama tergolong
kesesatan.
Perdebatan M. Natsir dan Ir. Soekarno itu tersirat
makna yang begitu dalam. Dua tokoh besar bangsa itu memperlihatkan cara
menyanggah dengan dalil, argumen, baik aqli maupun naqli. Tidak terlihat
saling menjatuhkan, melainkan koreksi. Diskusi bernas, santun
selayaknya panutan, tauladan, tokoh. Mendiskusikan hal sederhana namun
sarat makna.
Jika sekiranya hanya digunakan faham "ane dowura ta
dowuram, dofetingke ta dofetingkem" tentu pengetahuan aqli maupun naqli
keagamaan tidak beranjak maju. Justru lewat pertentangan itulah
terkandung kemajuan. Maka pemahaman atas tajjali dengan pengamatan,
penyelidikan, pembuktian, perenungan sebagai jalan hidup baru bagi warga
menjadi penting. Tidak hanya suku Muna, tapi seluruh anak manusia di
bumi manusia ini perlu menempuh jalan itu.
Karena itu,
memperhatikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas serta mengesampingkan
pendapat umum, dengan ini diputuskan bahwa pandangan hidup "dowura ta
dowuram, do fetingke ta dofetingkem" dinyatakan dicabut dari kosakata
bahasa Muna dan dianggap tidak berlaku lagi. Penggunaan kosakata itu
tidak relevan dengan perkembangan zaman. Bertentangan dengan nafas
kehidupan di zaman yang terus berubah. Menggantinya dengan pandangan
hidup "ane dowura dofotindae, ane dofetingke dopendenge nontaleanem".
Rochmady
Founder Mokesano Institut
27 Maret 2016