![]() |
Ilustrasi |
Lebih dari separuh windu kedua abad 21 yang digadang gadang
sebagai abad kejayaan ipteks umat manusia. Abad kemajuan. Abad teknologi tinggi di
seluruh bidang kehidupan. Namun, jika ditelisik lebih dalam abad ini
hakikatnya makin dalam makin keropos. Penuh kriuk-kriuk, seperti
berbagai jajanan penganan pabrik terkini, juga kerupuk. Terasa rame di
mulut tapi miskin gizi.
Abad ini ramai dengan temuan teknologi tinggi. Baru baru
ini, ilmuwan Indonesia berhasil menemukan binder isolat DNA dari
ekstraksi hewan laut. Selama ini, isolat ini sumbernya hanya dari
Amerika dengan biaya dan harga yang juga tinggi, ya setinggi
teknologinya. Akibatnya, temuan ini bisa memangkas biaya tinggi dalam identifikasi
forensik yang maha penting itu. Seperti identifikasi korban kecelakaan pesawat, dan seterusnya. Tentu, tak berbilang manfaat tinggi lainnya.
Temuan termutakhir lainnya, presisi tinggi prediksi kejadian GMT (Gerhana Matahari Total) pada tanggal 9 Maret 2016
lalu. Para astronom, berhasil nyaris sempurna menentukan peristiwa GMT
yang heboh itu. Dengan presisi tinggi para astronom berhasil memperkirakan titik kejadian, baik secara temporal, juga secara spasial. Para
ahli bahkan tahu di wilayah mana saja yang bisa menyaksikan peristiwa GMT dengan jangka waktu lama di
Indonesia.
Isolat dan GMT itu merupakan fenomena yang tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki umat manusia di abad ini.
Secara sosial, kedua temuan itu tidak lepas dari upaya umat
manusia memahami alam semesta hingga memahami masa depan. Kita tahu, sebagaimana saya dan juga anda, masalah kita adalah hari ini dan besok. Oleh karena
itu, dengan ilmu manusia berupaya menjawab pertanyaan eksistensi
dirinya di alam semesta ini. Untuk apa manusia ada disini? Mengapa ada
di sini?
Dua pertanyaan besar itu direspon secara berbeda setiap
generasi. Sejak manusia mengenal literasi, tercatat berbagai respon.
Setiap kebudayaan, suku, kepercayaan, jenis kelamin bahkan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi memberi respon jawaban yang berbeda-beda
pula.
Dua contoh mutakhir di atas adalah bentuk respon manusia
atas problem eksistensi manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kepercayaan beda lagi responnya. Yang pasti respon setiap bentuk-bentuk
sosial itu berbeda. Pada giirannya, respon tersebut membelah manusia di dua kutub
berbeda. Terasing dari kehidupan dunia atau terpenjara (memenjarakan
diri) dalam hukum alam yang maha luas ini. Sikap yang terakhir biasa kita sebut pasrah.
Saya teringat bacaan para intelektual di kampus-kampus yang menyebut pandangan dunia deterministik dan freewell. Dua pandangan besar ini secara sosial telah membelah ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi dua. Walau secara defenitif, terasing dan pasrah tidak bisa kita
asosiasikan dengan deterministik dan freewell. Kedua kelompok itu
berbeda. Pun sains itu sendiri juga diperlawankan dengan mistik. Bahkan
Soekarno sendiri mendeclare diri sebagai seorang dualis yakni sebagai
penganut sains sekaligus mistik. Oleh karena memang keduanya berpangkal
dan bermuara pada dua hal yang tidak bisa, alias mustahil disatukan.
Ibarat air dan api. Jika ada api maka tak ada air, jika ada air maka tak
ada api.
Advertisement
Tapi siapa yang mampu melawan kodrat alam ini? Bahkan
ramuan obat-obatan modern sekalipun tak mampu melawan kulit keriput.
Sejumput bahkan ribuan ahli medis menyusun satu formula yang bisa
hilangkan kulit keriput, itu pasti hanya sementara. Bahkan nasi yang
telah masakpun tidak bisa dihindarkan untuk basi dan membusuk walaupun
teknologi mikrobiologi umat manusia kini sudah mumpuni.
Kenyataan semacam inilah yang mendorong manusia semakin
terperosok dalam dua kenyataan sikap hidup yang berbeda. Terasing atau
pasrah. Sikap terasing akan memukul mundur dan menghantam sikap
kemanusiaan dengan kecemasan, keraguan hingga kehilangan harapan.
Sebentuk manusia yang kehilangan ikatan bahkan pelukan orang tuanya.
Terbuang dari kehidupan. Bahasa Sartre, ter-alienasi.
Sikap hidup terasing dari kehidupan itu membawa manusia
pada kondisi psikologis yang tidak menentu. Praktik religius ataupun
keagamaan berupaya mengalihkan manusia kepada bentuk interaksi sosial
dengan penguatan antara sesama manusia sekaligus mengikat manusia pada
kekuatan yang lebih besar yakni tuhan.
Hubungan semacam itu bisa terbentuk dengan prasyarat
hadirnya CINTA. Bukan sekadar kasih sayang, melainkan kepaduan sikap
tunduk pasrah sekaligus terikat dalam CINTA. Menyerahkan seluruh hidup
kepada jalan penyatuan CINTA. Dengan itu seteru eksistensi diri tentang
untuk apa manusia hadir disini? Mengapa manusia hadir disini? Menemukan
jawaban dan bentuknya yang lebih baik dan indah. Dengan itu kita akan menemukan satu pandangan dunia baru,
menatap segalanya secara lebih bermartabat. Menatap DUNIA dengan CINTA.
Tabik
Rochmady
Founder Mokesano Institut