Iklan

BudayaKolomOpiniRefleksiSosial

Cinta dan Seteru Eksistensi Diri

kumebano
Sabtu, 26 Maret 2016, 04.02 WIB
Last Updated 2022-04-21T23:39:39Z WIB
Advertisement
Ilustrasi

Lebih dari separuh windu kedua abad 21 yang digadang gadang sebagai abad kejayaan ipteks umat manusia. Abad kemajuan. Abad teknologi tinggi di seluruh bidang kehidupan. Namun, jika ditelisik lebih dalam abad ini hakikatnya makin dalam makin keropos. Penuh kriuk-kriuk, seperti berbagai jajanan penganan pabrik terkini, juga kerupuk. Terasa rame di mulut tapi miskin gizi.

Abad ini ramai dengan temuan teknologi tinggi. Baru baru ini, ilmuwan Indonesia berhasil menemukan binder isolat DNA dari ekstraksi hewan laut. Selama ini, isolat ini sumbernya hanya dari Amerika dengan biaya dan harga yang juga tinggi, ya setinggi teknologinya. Akibatnya, temuan ini bisa memangkas biaya tinggi dalam identifikasi forensik yang maha penting itu. Seperti identifikasi korban kecelakaan pesawat, dan seterusnya. Tentu, tak berbilang manfaat tinggi lainnya.

Temuan termutakhir lainnya, presisi tinggi prediksi kejadian GMT (Gerhana Matahari Total) pada tanggal 9 Maret 2016 lalu. Para astronom, berhasil nyaris sempurna menentukan peristiwa GMT yang heboh itu. Dengan presisi tinggi para astronom berhasil memperkirakan titik kejadian, baik secara temporal, juga secara spasial. Para ahli bahkan tahu di wilayah mana saja yang bisa menyaksikan peristiwa GMT dengan jangka waktu lama di Indonesia.

Isolat dan GMT itu merupakan fenomena yang tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki umat manusia di abad ini.

Secara sosial, kedua temuan itu tidak lepas dari upaya umat manusia memahami alam semesta hingga memahami masa depan. Kita tahu, sebagaimana saya dan juga anda, masalah kita adalah hari ini dan besok. Oleh karena itu, dengan ilmu manusia berupaya menjawab pertanyaan eksistensi dirinya di alam semesta ini. Untuk apa manusia ada disini? Mengapa ada di sini?

Dua pertanyaan besar itu direspon secara berbeda setiap generasi. Sejak manusia mengenal literasi, tercatat berbagai respon. Setiap kebudayaan, suku, kepercayaan, jenis kelamin bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi respon jawaban yang berbeda-beda pula.

Dua contoh mutakhir di atas adalah bentuk respon manusia atas problem eksistensi manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepercayaan beda lagi responnya. Yang pasti respon setiap bentuk-bentuk sosial itu berbeda. Pada giirannya, respon tersebut membelah manusia di dua kutub berbeda. Terasing dari kehidupan dunia atau terpenjara (memenjarakan diri) dalam hukum alam yang maha luas ini. Sikap yang terakhir biasa kita sebut pasrah.


Foto by Lampung Tribunnews

Saya teringat bacaan para intelektual di kampus-kampus yang menyebut pandangan dunia deterministik dan freewell.  Dua pandangan besar ini secara sosial telah membelah ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi dua. Walau secara defenitif, terasing dan pasrah tidak bisa kita asosiasikan dengan deterministik dan freewell. Kedua kelompok itu berbeda. Pun sains itu sendiri juga diperlawankan dengan mistik. Bahkan Soekarno sendiri mendeclare diri sebagai seorang dualis yakni sebagai penganut sains sekaligus mistik. Oleh karena memang keduanya berpangkal dan bermuara pada dua hal yang tidak bisa, alias mustahil disatukan. Ibarat air dan api. Jika ada api maka tak ada air, jika ada air maka tak ada api. 

Tapi siapa yang mampu melawan kodrat alam ini? Bahkan ramuan obat-obatan modern sekalipun tak mampu melawan kulit keriput. Sejumput bahkan ribuan ahli medis menyusun satu formula yang bisa hilangkan kulit keriput, itu pasti hanya sementara. Bahkan nasi yang telah masakpun tidak bisa dihindarkan untuk basi dan membusuk walaupun teknologi mikrobiologi umat manusia kini sudah mumpuni.

Kenyataan semacam inilah yang mendorong manusia semakin terperosok dalam dua kenyataan sikap hidup yang berbeda. Terasing atau pasrah. Sikap terasing akan memukul mundur dan menghantam sikap kemanusiaan dengan kecemasan, keraguan hingga kehilangan harapan. Sebentuk manusia yang kehilangan ikatan bahkan pelukan orang tuanya. Terbuang dari kehidupan. Bahasa Sartre, ter-alienasi.


Ilustrasi

Sikap hidup terasing dari kehidupan itu membawa manusia pada kondisi psikologis yang tidak menentu. Praktik religius ataupun keagamaan berupaya mengalihkan manusia kepada bentuk interaksi sosial dengan penguatan antara sesama manusia sekaligus mengikat manusia pada kekuatan yang lebih besar yakni tuhan.

Hubungan semacam itu bisa terbentuk dengan prasyarat hadirnya CINTA. Bukan sekadar kasih sayang, melainkan kepaduan sikap tunduk pasrah sekaligus terikat dalam CINTA. Menyerahkan seluruh hidup kepada jalan penyatuan CINTA. Dengan itu seteru eksistensi diri tentang untuk apa manusia hadir disini? Mengapa manusia hadir disini? Menemukan jawaban dan bentuknya yang lebih baik dan indah. Dengan itu kita akan menemukan satu pandangan dunia baru, menatap segalanya secara lebih bermartabat. Menatap DUNIA dengan CINTA. 

Tabik

Rochmady
Founder Mokesano Institut