Iklan

Ekonomi dan BisnisHeadlinePesisir dan Laut

Lingkungan Untuk Generasi dan Ekonomi

Rochmady
Senin, 18 Januari 2016, 08.37 WIB
Last Updated 2022-04-21T22:11:08Z WIB
Advertisement
Suasana Pemandian Motonuno Lohia, Muna (Foto by Rochmady)

Menjaga kelestarian lingkungan adalah menjaga anak cucu kita..

Kondisi Faktual
Kami melakukan kunjungan lapangan dan wawancara sejak tahun 2011 hingga awal tahun 2012 di beberapa titik daerah pesisir di kabupaten Muna.  Yakni daerah pesisir sepanjang Sungai Lambiku, daerah pesisir Bonea dan Lapasilao (di Timur), daerah pesisir Tanjung Pinang (di Barat) dan beberapa daerah di kepulauan Tobea (di Utara).  Menunjukkan kondisi ekosistem penting perairan dalam kondisi cukup memprihatinkan ditinjau dari segi kelestarian sumberdaya dari tiga ekosistem penting, yakni hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass bads) dan tingkat ekonomi masyarakat. Pada daerah-daerah tersebut, sebagian masyarakat menggantungkan kehidupan ekonomi mereka dengan melakukan kegiatan penangkapan ikan berupa pukat pantai, bagan tancap, bagan rambo maupun alat pancing sederhana.  Sebagian masyarakat melakukan kegiatan budidaya rumput laut.  Berbagai aktifitas masyarakat tersebut, kesemuanya sangat bergantung terhadap keberadaan tiga ekosistem penting daerah pesisir tersebut.

Aktifitas ekstraksi tersebut berlangsung sangat intens, bahkan sudah mencapai aktifitas berlebih (over activity) dan pengambilan berlebih (over exploitation).  Oleh karena sebagian masyarakat melakukan kegiatan penambangan pasir secara tidak terkendali hingga melakukan pemboman.  Hal lain, terjadinya perambahan dan penebangan hutan bakau (mangrove), yang digunakan sebagai areal pertambakan, sebagai kayu bakar dan sebagai bahan bangunan secara berlebihan, maupun sebagai patok kegiatan budidaya rumput laut (di desa Tanjung Pinang dan Kep. Tobea) dan sebagai tiang pancang pukat pantai (sero) (di desa Labone dan Lambiku).  Hal lain, perusakan terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass) dengan melakukan pemboman ikan, pengambilan pasir secara tidak terkendali (di Barat dan Timur Pulau Muna).  Berbagai fakta ini dapat dilihat dengan terjadinya penurunan luasan dan rendahnya kerapatan hutan mangrove sebagaimana penelitian Rochmady tahun 2011 lalu.  Ekosistem terumbu karang dari tahun ke tahun mengalami penurunan, bahkan hilangnya hamparan padang lamun (sea grass) dan beberapa spesies penting pada ekosistem ini seperti ikan dugong, penyu laut dan lainnya.  Hal ini terjadi oleh karena berubahnya fungsi ekologis dari ekosistem itu sendiri.

Fakta lain konversi hutan bakau (mangrove) di Pulau Bangko menjadi ironi.  Menurut informasi yang kami peroleh dari beberapa tokoh masayarakat di Tanjung Pinang, diantaranya adalah bapak H. Wahid, beliau mengisahkan dan mengamini konversi hutan bakau (mangrove) menjadi lahan tambak udang tersebut.  Sudah barang tentu tidak memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya dan lingkungan.  Dengan berbagai masalah ini kemudian memunculkan pertanyaan, dimanakah peran SKPD terkait selama ini? Apakah yang sudah dilakukan?

Dampak Terhadap Ekosistem dan Masyarakat
Terlihat jelas, bahwa aktifitas berlebihan dan tidak terkendali dari kegiatan ekstraksi sumberdaya mengakibatkan menurunnya luasan hutan mangrove, rusak bahkan hilangnya beberapa ekosistem terumbu karang dan padang lamun.

Kerusakan ekosistem yang pada gilirannya berdampak pada putus bahkan hilangnya rantai makanan (food webs) di ketiga ekosistem tersebut.  Kerusakan dan bahkan hilangnya ketiga ekosistem tersebut mengakibatkan penurunan fungsi ekosistem baik secara ekologis maupun secara ekonomis.  Dampak langsung yang dirasakan masyarakat dari kerusakan tersebut adalah penurunan hasil tangkapan nelayan baik jumlah, jenis maupun ukuran tangkapan serta semakin jauhnya daerah atau spot penangkapan.  Bagi pembudidaya, mengakibatkan terjadinya penurunan hingga kegagalan kegiatan budidaya (rumput laut) karena kualitas air yang buruk.

Dampak lanjutan berbagai persoalan tersebut adalah hilangnya mata pencaharian masyarakat daerah pesisir yang berdampak langsung terhadap penurunan pendapatan hingga akhirnya mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat secara ekonomi.

Pelemahan kelembagaan sosial masyatakat desa maupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang kehilangan kewibawaan ikut memberi andil.  Peran pemerintah khususnya pemerintah desa sebagai regulator sekaligus mediator pemerintah daerah dan masyarakat ikut menyuburkan masalah ini. Pelemahan terjadi lebih karena konflik kepentingan di level masyarakat (secara horisontal) maupun pada level pemerintah desa dan jajarannya terhadap pemerintah diatasnya beserja seluruh jajarannya dalam hal ini SKPD terkait (secara vertikal).  Upaya-upaya solutif selama ini memang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui SKPD terkait.  Akan tetapi, cara-cara penyelesaian sifatnya masih sporadis dan tidak sistematis terlebih masih bergaya orde baru alias top-down baik dilakukan oleh pemerintah daerah melalui SKPD terkait maupun oleh pemerintah desa beserta seluruh jajarannya.

Ketidak efektifan ini pula didukung dengan model komunikasi yang belum setara antara nelayan dan oknum-oknum SKPD, sebagai contoh penyuluh dan pejabat teknis yang sok pintar dihadapan nelayan (dengan menggunakan bahasa ilmiah kampus yang tidak dimengerti oleh nelayan) yang tingkat pendidikannya sangat rendah.  Sikap masyarakat dalam menyikapi kondisi seperti ini adalah kekecewaan.  Kekecewaan ini kemudian terakumulasi dalam bentuk sikap apatis masyarakat terhadap berbagai kegiatan yang disodorkan pemerintah daerah maupun pembangkangan terhadap pemerintah desa.

Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan programnya juga karena adanya kesan program pemerintah hanya bersifat musiman atau hanya pada saat kampanye saja dan tidak ada keberlanjutan maupun pendampingan secara tuntas (hulu hingga hilir).

Salah satu contoh, program peningkatan produksi rumput laut dengan intensifikasi usaha melalui kegiatan pembagian tali bentangan rumput laut di desa Tanjung Pinang.  Bantuan menjadi tidak berarti tanpa mendampingi pembudidaya itu sendiri hingga mencapai jumlah produksi yang diinginkan.  Hal ini lebih diperparah jika pembagian tersebut mengatas-namakan salah satu partai atau calon tertentu pada momentum pemilihan kepala daerah dan lainnya.  Belum lagi berbagai bentuk kecurangan yang entah dilakukan oleh oknum ataupun lainnya sebagaimana diakui oleh beberapa tokoh masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa masyarakat yang kehilangan mata pencaharian maupun yang mengalami penurunan produksi (nelayan tangkap dan pembudidaya) berpindah mata pencaharian.  Perpindahan pencaharian tanpa keterampilan berakibat kegagalan, sehingga masyarakat mengambil cara yang lebih praktis dengan resiko negatif yang lebih besar terhadap dirinya, maupun terhadap ekosistem yakni dengan pemboman ikan atau pengambilan pasir secara tidak terkendali.  Dan ini diakui dengan tegas oleh masyarakat, oleh karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya mendesak.

Apa Masalahnya?
Pada dasarnya tidak ada sumberdaya alam yang rusak tanpa ada yang merusaknya.  Uraian di atas mengarahkan kita dalam menemukenali masalah utama di masyarakat pesisir.

Pertama, bahwa harus diakui telah terjadi perusakan lingkungan sebagaimana digambarkan.  Bahwa telah terjadi pemboman ikan dan pengambilan pasir secara tidak terkendali.  Bahwa telah terjadi penurunan produksi kegiatan penangkapan dan gagalnya usaha budidaya maupun lainnya. Kedua, harus diakui pula bahwa masalah ini terkait langsung dengan cara berpikir yang terdapat di masyarakat baik sebagai pengguna (users) maupun pemerintah sebagai regulator itu sendiri dengan uraian sebagai berikut.

Menurut pendapat kami, setidaknya masalah pada masyarakat nelayan sebagai pengguna (users) adalah :

Pertama, kurang bahkan tidak adanya kesadaran dan pemahaman yang baik tentang ekosistem pesisir dan lingkungan kaitannya dengan kehidupan mereka saat ini dan nanti.  Terlebih pemahaman mengenai dampak kegiatan perusakan sumberdaya terhadap perubahan iklim (Climate Changes) maupun pemanasan global (Global Warming).  Jikapun ada, hanya beberapa orang saja yang paham dan mengerti akan hal itu.  Akan tetapi peran dan fungsi dari orang yang paham ini menjadi tidak ada tatkala berhadapan dengan masalah-masalah berikutnya.

Kedua, adalah kurangnya bahkan tidak adanya keterampilan dalam memanfaatkan atau mengekstrasi sumberdaya pesisir dan laut di daerah sekitar tempat tinggal mereka. Masalah menjadi semakin menguat, ketika sebagian kecil dari masyarakat nelayan yang memiliki keterampilan khusus dalam mengekstraksi sumberdaya, kemudian mendominasi bahkan memonopoli hingga menguasai dengan begitu saja sumberdaya alam, alat-alat produksi maupun tenaga kerja masyarakat setempat yang tidak memiliki keterampilan khusus tersebut.  

Ketiga, kurangnya bahkan tidak adanya akses terhadap permodalan maupun lembaga lain yang diharapkan dapat memberikan keberdayaan ekonomi terhadap masyarakat nelayan untuk melakukan ekstraksi sumberdaya secara bertanggungjawab.

Keempat, lemahnya bahkan tidak berdayanya kelembagaan  pemerintah desa maupun lembaga sosial desa lainnya. Dari sisi pemerintah sebagai regulator masalahnya lebih pada aspek manajemen dan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas yang tergolong masih rendah dan terbatas.  Selain itu juga banyaknya kepentingan yang memperngaruhi berbagai macam program yang ada. Sehingga setiap program terkesan hanya sebagai obat penenang bagi masyarakat khususnya masyarakat pesisir.  Akibatnya, kebanyakan program pemerintah menjadi salah sasaran dan terkesan mubazir.

Seruan PKPPK dan Ecocom
Akibat kolaborasi dari keempat masalah pokok diatas, baik di masyarakat maupun pemerintah mengakibatkan masyarakat mengambil tindakan ekstraksi sumberdaya yang tidak lagi memperhatikan kelestarian (sustainable) sumberdaya untuk generasi mendatang dalam hal ini untuk anak cucu kelak.  Bahkan tindakan eksktraksi sumberdaya cenderung mengancam nyawanya sendiri demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak.  Oleh karena itu, kami atas nama PKPL dan Ecocom menyerukan kepada seluruh stakeholder baik pemerintah pusat, daerah dan jajarannya hingga ke tingkat desa maupun pihak swasta dan NGO untuk sama-sama melangkah demi perbaikan lingkungan pesisir.

Bagi kami, PKPL sebagai masyarakat ilmiah kampus dan Ecocom sebagai masyarakat pemerhati lingkungan merasa terpanggil untuk ambil bagian dalam upaya dimaksud.  Untuk segera menghentikan perusakan lingkungan dan waktunya melakukan langkah-langkah kecil perbaikan langsung menangani masalah-masalah tersebut sebelum terlambat demi generasi sekarang dan anak cucu kelak.

Langkah kecil pelestarian sumberdaya adalah suatu upaya menyelamatkan anak cucu melalui pelestarian lingkungan tempat hidup. Satu Bumi untuk Manusia. [SRM]

ROCHMADY, S.Pi., M.Si
Pengajar pada Budidaya Perairan STIP Wuna,

Kepala Pusat Kajian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PK-PPK) 
Dewan Pendiri Yayasan Ecology Community (EcoCom)
Direktur moKESAno Institut
e-mail : srochmady@gmail.com