Iklan

CultureInspirasiIslam dan PeradabanSosial Budaya

Ber-"CERMIN"-lah Jika Ingin Menemukan "KEKASIHmu"

kumebano
Minggu, 19 April 2015, 22.10 WIB
Last Updated 2022-04-21T06:33:25Z WIB
Advertisement

Ilustrasi bercermin (Foto: Unsplash.com)

Dimana bisa menemukan Cinta Sejati?

Cukup sederhana menjawabnya. Temukanlah dia di dalam dirimu. Menemukan Cinta di dalam diri itu ibarat kita bercermin. Andai kita bercermin, akan sulit melihat siapa bayangan yang ada di dalam cermin kalau cerminnya kotor. (ini hanya analogi keberadaan hati). Tetapi akan nampak jelas wajah kita di dalam cermin, jika cerminnya bersih. Anda taukan apa yang harus dilakukan? Ya benar, bersihkan cerminnya. 

Dalam aplikasinya, cermin dimaksud dalam diri manusia atau tiap-tiap kita itu adalah "Hati". Hati itu halus rasa, alias hanya bisa dirasakan. Hati selalu membisikkan kebaikan tanpa kita meminta. Hati akan memberikan pertimbangan, tanpa mengharapkannya. Hati ibarat Konsultan Pribadi kita. Hati adalah teman yang selalu bersama kita, dan yang pasti, Hati itu tidak pernah tidur dan bla.. bla..bla.. (untuk lebih jelasnya, coba baca QS. An-Nur bagi anda yang meyakini kebenaran Islam). 

Hati yang bersih akan menampakkan bayangan yang jelas dan tegas. Dalam beberapa Cabang Mistikus Islam mendefenisikan bahkan mengistilah Hati itu sebagai Jendela Allah atau Pintu Allah atau Perantara antara Hamba dan Khaliknya. Disebutkan, dalam Hati terjadi Pertempuran antara Kebaikan dan Keburukan. Yang disebut Kebaikan adalah Cahaya (Nur), yang disebut Keburukan adalah Kegelapan (ini istilah dan defenisi analogi saja). Cahaya yang dimaksud itu adalah Ilmu atau dalam bahasa al-Qur'an namanya "al-ilm" terdiri atas huruf Alif Lam dan Mim. Ini sama dengan akar kata Islam, juga terdiri atas huruf-huruf itu, yaitu Alif Lam dan Mim dalam abjad Arab tentunya. 

Kita pernah bahkan hampir setiap hari mendengar istilah Muslim, Muslimin, Mualim, Ulama dan sebutan lainnya. Semua yang saya sebut itu memiliki akar kata yang jika diurai huruf-hurufnya juga terdiri atas Alif Lam dan Mim yang jika dirangkai akan membentuk kata al-Ilm. Ilm' atau Ilmu dalam istilah para Pesuluk (sebutan mereka yang menempuh jalan Tuhan) disebut sebagai Cahaya atau Nur (coba buka kembali QS. An-Nur). Untuk memperjelas mengenai Cahaya atau Nur atau Ilmu ini baiknya kita ambil jalan pengandaian (analogy). Analoginya begini, kalau kita berada dalam kondisi cahaya yang terang, tentu kita bisa melihat realitas dihadapan kita dengan jelas. Tentu berbeda kalau kondisi tidak ada cahaya atau kegelapan kan?

Jadi kalau kita kembalikan ke akar katanya, dengan bantuan penjelasan tadi, maka seharusnya orang yang menyandang predikat Muslim, Muslimin, Mualim, Ulama atau yang sejenisnya, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang melihat realitas dengan jelas, atau yang menyaksikan dengan jelas.

Ini pula ada hubungannya dengan Kalimat Syahadatain atau Kalimat Persaksian itu. Bagi mereka yang mengucapkan kalimat Syahadatain itu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang menyaksikan atau boleh dikatakan sebagai orang-orang yang berada dalam naungan Cahaya. Mengapa? Karena mereka dapat menyaksikan keberadaan itu. Dalam bahasa Agama Islam namanya Allah SWT. Salah satu indikator orang yang berilmu atau orang yang diliputi Cahaya adalah mereka yang berhalus rasa, mereka yang memiliki kepekaan, baik ragawi maupun rohani. 

Lalu, yang mana Keburukan atau Kegelapan itu.
Kegelapan itu adalah antonim dari Cahaya. Dalam kegelapan itu, realitas yang kita saksikan menjadi samar atau kabur atau bahkan tidak jelas atau tertutup. Dalam terminologi Islam, Tertutup dijabarkan dalam akar kata kaffara, atau penutup, kaffan bermakna kain penutup, kuffuru tertutup, kuffri yang ditutup. Jadi bisa disimpulkan bahwa kebodohan itu bermakna sesuatu yang tertutup, menutup atau ditutupi dari kebaikan sehingga mereka tdak dapat menyaksikan. Penjelasan mengenai kegelapan ini adalah bagi pikiran awam kita, dekat dengan istilah Kebodohan. Pintu kebodohan itu adalah Ketidaktahuan, padahal ketidaktahuan itu karena tdak menyaksikan. 

Kaitannya dengan Jendela Jauhari?
Jendela Jauhari sebagaimana pula Mitos Gua dari Plato mencoba menggolongkan manusia itu berdasarkan Ketahuannya (baca; Pengetahuannya). Bahwa ada empat golongan manusia secara umum, yaitu Golongan Pertama, Manusia Tidak Mengetahui Ketidaktahuannya. Golongan Kedua, Manusia Mengetahui Ketidaktahuannya. Golongan Ketiga, Manusia Tidak Mengetahui Ketahuannya. Dan Golongan Keempat, Manusia Mengetahui Ketahuannya. 

Kegelapan yang dimaksud disini adalah mulai dari Golongan Pertama sampai dengan Golongan Ketiga. Manusia yang paling beruntung adalah mereka yang berada dalam Golongan Keempat, kemudian Golongan Ketiga dan seterusnya. 


Yang mencintai menebar kebaikan - Ilustrasi (Foto by Google.com)
 
 
Lalu, apa yang harus dilakukan kalau sudah begitu? 
Bersih dan Sucikanlah dirimu, kemudian biarkan Kekasihmu Allah SWT yang menyempurnakan kesucianmu. 

Melalui apa? 
Melalui Istinja, Junub, Wudhu, Shalat, dan Dzikir. Urutan ini tidak boleh melompat lompat alias misalnya kalau mau Shalat, maka ber-Wudhu saja tanpa Junub. Jika ini terjadi, maka akan menggugurkan wajibnya Shalat. Mengapa? Karena Shalat tanpa ber-Wudhu, shalatnya tidak diterima alias gugur. Karena Syarat Wajib Shalat itu adalah Wudhu. Tapi Wudhu tanpa Junud, Wudhu-nya batal atau gugur. Junub tanpa Istinja, Junubnya batal alias gugur pula. Maka boleh disimpulkan bahwa Shalat menjadi sia-sia tanpa dimulai dari Istinja. Inilah inti Ajaran Tarekat yang kerap kali dianggap Mistik, Keramat dan Kolot alias kaku itu. Mengapa karena ajaran Tarekat khususnya yang terangkum dalam Martabat Tujuh sesungguhnya berisi tentang tata cara atau prosedur yang tidak boleh dilanggar dan amat ketat. Jika Martabat Tujuh sudah dilakoni dan sudah menjadi bagian dari kehidupan barulah beranjak ke Rukun 13 itu. 

Fondasi dasar Tarekat atau jalan Makrifat yaitu proses menyucikan diri dulu sebelum menghadap-Nya. Tentu proses bersuci itu ada adabnya atau etikanya (prosedur atau tata caranya). Mengenai bagaimana rangkaian adabnya, etika dan lafadznya, silahkan tanya kepada orang tua atau siapa saja yang faham ilmu ini. Catatanya adalah Ilmu Bersuci ini dianggap sebagai fondasi dasar dari jalan Suci Islam. Ilmu bersuci ini dalam bahasan Tasauf diperuntukan bagi mereka yang ingin mengenal Tuhan-Nya. Silahkan tanyakan sama Ulama yang saudaraku kenal mengenai apa, bagaimana dan seperti apa Martabat Tujuh itu. 

Lalu, apa hubungannya antara bersuci dan Hati? 
Hubungannya adalah dalam bersuci sesungguhnya yang kita sucikan adalah Pintu-Pintu Masuknya pengetahuan di dalam Diri, supaya hati tidak terkotori di pintu-pintu itu, supaya yang masuk ke Hati itu adalah Ilmu Kesejatian. Misalnya, saya ambil contoh saja dalam Wudhu. Salah satu yang kita bersihkan atau yang kita basuh dengan air pada saat berwudhu adalah bagian ubun-ubun kita. Mengapa ubun-ubun disucikan? Karena diubun-ubun itu letaknya otak. Hal ini terkandung makna psikis dan fisik. 

Boleh jadi dalam sepersekian detik otak kita berpikir tentang hal-hal yang mempersekutukan Allah, atau bisa jadi otak kita kelelahan akibat terlalu banyak berpikir, mengakibatkan suhunya menjadi naik akibat gerakan partikel atau "gerakan atom-atom" (mengenai ini, baca penjelasan tentang Fisika Quantum) yang mengabdikan diri di otak kita. Sehingga untuk menurunkan suhunya, Islam memberikan tuntunan untuk mendinginkannya dengan Air Wudhu. Mengapa? supaya gerakan liar atom itu menjadi terkendali dalam artian dalam kendali kita, bukan atom-atom itu yang mengendalikan fungsi otak kita. Faedahnya bagi kehidupan dunia adalah boleh jadi kita akan diberinya rezki melalui kerja otak kita. Begitu juga dengan bagian tubuh yang lain, yang kita selalu basuh dengan air wudhu itu. Bagi kehidupan akhirat, tentu anda semua fahami. 

Nah, Insya Allah, dengan membasuh pintu-pintu masuknya pengetahuan ke dalam Hati hingga bersih dan suci, maka Hati kita juga Insya Allah akan menjadi bersih dan suci pula. Dengan bersihnya Hati, maka Insya Allah kita akan mampu menyaksikan Realitas Sejati, yaitu Allah Azza Wajala'. Sehingga dalam Ilmu Tarekat dikenal istilah Sesungguhnya yang mengetahui dan yang diketahui itu SATU, Yang Dicintai dan yang mencintai itu SATU. Yang disayangi dan yang menyayangi itu SATU. Karena memang realitas itu hanya SATU (SATU dimaksud tidak berbilang-atau Tunggal). Kita tidak lagi mengada-adakan Realitas lain, selain daripada Dirinya Sendiri Allah SWT. Tunggal tak berbilang. Dalam istilah spiritualisme yang diajarkan oleh Syech Sitti Jenar di jawa dan Al-Halajj di Turki, dikenal dengan istilah Manunggal Kawula Gusti. Tapi istilah ini terlalu melebih-lebihkan (mungkin).

Sedangkan dalam istilah Ilmu Tarekat (Tasauf) atau Ilmu Pengenalan yang diajarkan oleh Syech Yusuf (Guru Tarekat yang berasal dari Gowa, Sulawesi Selatan yang tersohor itu) mendasarkan fahamnya pada salah satu Hadits Qudsi : Man Arfa Nafsahu Fakad Arfa Allah, artinya Siapa yang mengenal Dirinya, maka Dia akan mengenal Allah. Saya tak ingin menjelaskan Diri yang mana, karena sesungguhnya itu adalah Hak Allah untuk menjelaskannya. Yang saya mau katakan, mereka yang telah sampai pada pengetahuan ini, akan memiliki Karomah (Mukzizat). Sebab apa yang dikatakannya, dilakukannya, dipikirkannya adalah Kebenaran". Kebenaran itu adalah Dirinya. 

Jadi, Menemukan Cinta di dalam Diri itu sesungguhnya menemukan "Cinta Sejati". Dalam bahasa lainnya atau bahkan saya lebih suka menyebutnya "Kasih Sayang Tertinggi" (Bismillahi ar-rahman ar-rahim). Sedangkan Kasih Sayang kepada Sesama Insan Manusia itu hanyalah bayang-bayang dari Kasih Sayang Allah saja. Itulah makanya sering orang-orang mengatakan bahwa "untuk menemukan Cinta temukanlah dia di dalam Dirimu sendiri".

Mudah-mudahan dengan penjelasan ini, walaupun mungkin masih banyak yang belum terungkap. Semoga saja dapat memberikan manfaat, minimal bagi diri saya. Wallahu alam bisawab [SRM]

***
Catatan 
Artikel pernah dipublikasikan pada Akun Facebook milik saya.