Iklan

CultureEventInspirasiSosial Budaya

Persoalan Di Laut Diselesaikan Di Darat: Hikayat Daerah; Nelayan yang Ingkar Janji

kumebano
Jumat, 24 Oktober 2014, 07.47 WIB
Last Updated 2022-04-21T12:59:26Z WIB
Advertisement
Caption


Suatu sore, dengan sigap dipikulnya perlengkapan menangkap ikan miliknya. Walaupun dia tahu di malam-malam sebelumnya hanya membawa hasil tangkapan yang tidak menggembirakan. Sore itu, dengan penuh keyakinan diteguhkanya hati dan pikiranya bahwa siapa saja yang meminta kepada Tuhan pastilah dikabulkan. Maka diapun meniatkan, Tuhan asalkan banyak ikan yang saya tangkap, saya akan potong kerbau. Dengan niat itulah berangkat mengayuh perahu di laut.

Sesampainya di tempat yang biasa menangkap ikan, dibuanglah jaring, pancing ikanya. Dan hasilnya, ikan yang tertangkap begitu melimpah. Belum sampai ikan yang satu di atas kapal, sudah ada lagi ikan yang lain, begitu seterusnya. Seolah-olah ikan-ikan itu menyerahkan diri untuk ditangkap. Ikan-ikan itu hampir-hampir naik sendiri di atas perahu milik minta untuk ditangkap. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, perahu miliknya telah penuh dengan tangkapan ikan bahkan hampir-hampir tenggelam karena saking banyaknya. Dengan perasaan senang melihat begitu banyaknya hasil tangkapan yang diperolehnya malam itu, namun perasaan was-was dan takut mulai muncul melihat kondisi perahunya yang hampir tenggelam karena sesak dengan muatan ikan.

Dengan perasaan bangga dan senang, didayungnya perahu yang sesak dengan muatan ikan itu, namun belum lama berselang tiba-tiba bertiuplah angin kencang yang mengancam menenggelamkan perahu miliknya. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk selamat dari tiupan angin itu. Ketika itu kembali berdoa memohon kepada tuhan. Tuhan, kasihanilah hambamu ini, asalkan saya selamat bersama ikan dan perahu saya hingga ke darat dari tiupan angin yang kencang ini, saya akan potong kambing. Alhasil, tidak berselang lama tiupan angin kencang itupun berlalu hingga disandarkanya perahu dan lompat ditanah darat dengan selamat.

Begitu melompat dari perahu miliknya, Tuhan untuk apa saya mau potong kerbau dan kambing itu, katanya. Saya hanya tes-tes saja berniat begitu untuk membuktikan kata-kata orang dan ternyata benar tapi saya tetap tidak akan potong kerbau dan kambing. Begitu sampai di darat, dipanggilnya istrinya untuk segera membantu mengangkut ikan ke atas rumah. Ikan-ikan itu diangkut dan dipisah-pisahkan. Ada yang dipiasahkan untuk dikeringkan, untuk diasapi, untuk dipindang dan ada pula untuk dimakan hari itu. 

Segera setelah dipisahkan, dikerjakan dan istrinya pun mulai memasak ikan untuk dimakan hari itu. Namun dalam hitungan kejapan mata, sekali tolekan api yang digunakan memasak ikan itu telah menjalar dinding kayu rumah mereka. Api itu begitu cepat menjalar hingga seisi rumah telah merah oleh panasnya api. Beruntunglah mereka dengan sigap melompat menyelamatkan diri dari kobaran api yang melahap rumah, ikan yang akan dikeringkan, dipindang, diasapi. Dan tidak satupun yang bisa diselamat dari isi rumah itu.

Dengan penuh kesedihan dan pilu, si istri menangis menyaksikan harta benda milik mereka dilahap si jago merah. Sementara si suami hanya memandang lepas ke arah rumah dengan api yang berkobar-kobar sambil mengaikan kedua tanganya dipinggang dan berkata. Ckckckck... hhhmm hhmmm betul-betul Tuhan ini, persoalan di laut diselesaikan di darat.

Matahari Sore Laut Banda (Foto by Rochmady)
Hikmah
Hikayat ini mengajarkan nilai konsistensi akan ucapan dan perbuatan. Dan bahwa tiap-tiap perbuatan baik ataupun buruk, cepat atau lambat pasti akan menerima ganjaranya. Selain itu pula, hikayat ini mengingatkan kita, bahwa janji yang diucapkan kepada Tuhan harus ditunaikan.

Ajaran nilai ini kami pandang masih relevan hingga saat ini. Walaupun tidak seelok jika dikisahkan dalam versi bahasa daerah, namun kami berharap pesan yang terkandung didalamnya dapat ditangkap oleh pembaca sekalian.
Sekian []

Sumber : Cerita rakyat yang berkembang di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.