Iklan

InspirasiRefleksiSosial Budaya

Lupa; Melawan atau Berteman?

kumebano
Kamis, 18 September 2014, 00.11 WIB
Last Updated 2022-04-21T06:55:23Z WIB
Advertisement

Ilustrasi lupa (Foto: istockphoto.com)



Lupa, suatu istilah yang sering terdengar dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan mungkin saja kata tersebut pernah atau bahkan sering keluar dari mulut kita sendiri tanpa disadari. Namun tahukah kita bahwa jika istilah itu sudah mengambil wujud dalam bentuk perbuatan dari orang/manusia justru akan berdampak begitu besar bukan hanya pada orang yang lupa, melainkan juga pada orang lain.

Sebagai contoh, dalam kehidupan pribadi yang kita alami sehari-hari semisal lupa gosok gigi, lupa mandi, lupa makan. Tahukah kita apa dampaknya? Jika lupa gosok gigi, tentu bukan hanya kita yang pasti alami kerusakan gigi, namun orang lain juga pasti terganggu dengan bau mulut yang dikeluarkan. Apalagi sampai lupa mandi karena terburu-buru pada suatu kegiatan kantor misalnya, pastilah anda kurang pede dan orang lain juga pastilah terganggu dengan itu. Namun beda halnya dengan lupa makan.

Lalu bagaimana jika persoalan lupa ini kita tarik dalam urusan keluarga. Semisal kita lupa dengan suami atau istri. Jika hal ini terjadi, hampir dipastikan anda tidak hanya merugikan diri sendiri tapi bisa jadi berhadapan dengan berbagai persoalan yang semakin rumit. Lalu bagaimana jika lupa anak? Ini bisa saja bermakna lupa anak karena terlalu banyak anak, dimana setiap tempat atau kampung anda punya anak, tetapi juga dapat saja bermakna anda sulit membedakan mana anak anda dan yang bukan. Inipun akan menimbulkan masalah kedepannya, dan saya yakin masalah yang dihadapi tentu tidak kalah rumitnya. Samalah halnya dengan lupa mertua, lupa menantu dalam lingkungan keluarga. Dan masih banyak lagi jenis lupa lainnya dilingkungan keluarga, dan anda sekalian sudah dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika kita lupa dengan hal-hal itu. 

Lalu bagaimama jika kita naikkan setingkat lagi level kelupaan itu. Sebut saja semisal lupa tanggungjawab sebagai bupati, lupa sebagai walikota, lupa sebagai gubernur, bahkan lupa sebagai presiden. Tidaklah mengherankan jika dewasa ini banyaknya tuntutan masyarakat kepada mereka yang telah diberi tanggungjawab besar sebagai bupati hingga presiden itu, mungkin salah satu sebabnya karena lupa. Masihlah banyak diantara kita berteriak kepada mereka perihal lupanya mereka dengan janji-janji yang telah mereka ucapkan saat kampanye. Dapat dikatakan, kemiskinan, kesemrawutan, dan berbagai persoalan sosial lainnya yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kebanyakan merupakan akibat langsung bahkan tidak langsung dari lupa para pejabat itu. Pemerkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini, pelecehan, dan berbagai tindakan asusila lainnya tak bisa dan rasanya sulit kita pisahkan dari faktor lupanya para pejabat dalam tanggungjawabnya sebagai pejabat yang sudah berjanji menyelesaikan itu.

Beberapa tingkatan lupa tadi, terdapat tingkatan lupa yang sangat kronis dan bahkan fatal bagi seluruh tingkatan lupa tadi, yakni lupa dengan diri sendiri dan lupa bertuhan. Lupa dengan diri sendiri hampir sama maknanya dengan lupa bertuhan, dan lupa bertuhan hampir sama pula maknanya dengan lupa diri sendiri. "Man arfa nafsahu, fakad arfa rabbahu"-Siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal tuhannya, kata salah satu hadits Qudsi dari Rasulullah Muhammad SAW. Karena hakekat diri selalu terhubung baik langsung maupun tidak langsung dengan tuhan. Lupa dengan diri sendiri bisa saja positif namun bagaimana jika anda lupa asal usul dari kehidupan dan tujuan anda. 

Tampaknya persoalan lupa bukanlah hal kecil yang dapat kita remehkan begitu saja. Mungkin dalam urusan-urusan pribadi, persoalan lupa dapat saja kita abaikan sebab dampak yang ditimbulkan mungkin masih lebih banyak merugikan diri sendiri ketimbang orang lain. Namun jika sudah menyangkut kepentingan atau berhubungan dengan orang lain, maka lupa bukanlah perkara mudah seperti tadi. Perkara lupa dalam memegang amanah sebagai pemimpin ini jauh lebih rumit lagi. Lihat saja dalam konteks bernegara kita hari ini, semisal pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 lalu, sempat lupa membawa konsepan, dipastikan kemerdekaan yang kita rayakan bukanlah tanggal itu. Dan masih banyak lagi lupa dalam konteks bernegara lainnya, semisal 'wakil rakyat' yang lagi heboh 'lupa diri'.


Ilustrasi lupa (Foto: istockphoto.com)

 
 
Lupa terkait erat dengan memori, dan memori terkait erat dengan sistem syaraf yang ada di dalam tubuh. Dalam ilmu neurologi dan genetika dikatakan bahwa sel pertama yang dibentuk dalam awal pembentukan manusia adalah sel-sel saraf. Dalam perkembangannya, sel-sel saraf tidaklah pernah diperbaiki sedikitpun walau mengalami kerusakan. Disitulah letak rahasianya hingga mengapa peristiwa lampau masih dapat kita ingat. Bayangkan jika sel-sel saraf yang menyimpan memori itu digantikan oleh sel yang baru, anda tentu tahu apa akibatnya kan? Dan disitu saya yakini, selain sebagai memori tentu  masih banyak rahasia dan faedah lainnya yang belum sempat terungkap kebenarannya di zaman ini. Sehingga sadarlah kita bahwa semua hal terkait dengan masa lalu kita, sesungguhnya itu tersimpan rapi dalam memori di pusat saraf yang dimiliki, sewaktu-waktu dapat dengan mudahnya dibangkitkan.

Syahdan. Dengan memori itu, dengan lupa itu pulalah kita dibentuk dan dikembalikan. Dibentuk dengan memori masa depan melalui DNA dan RNA dan dimusnahkan dari memori masa lalu melalui pengalaman. Hingga dalam ungkapan para sufi dikatakan bahwa "sesungguhnya kita ini dari benih kehidupan yang ditanam di dalam rahim (tempat yang kuat) dan akan kembali ditanam di dalam rahim bumi sebagai benih kehidupan selanjutnya". Untuk menjadi benih di dalam rahim bumi, kita pasti dan akan melewati jalan lupa. Dengan lupa itulah yang diambil pertama kalinya secara perlahan yang dimiliki. Sebab pintu masuk menuju rahim bumi untuk menjadi benih kehidupan itu tidak lain adalah kematian. Gerbang utama dari kematian adalah lupa. Sebelum pencipta menarik anda kembali pulang, maka akan dibuatnya lupa terlebih dahulu. Kita akan dikembalikan pada tingkat lupa stadium awal hingga lupa stadium akhir tadi yakni lupa diri sendiri dan atau lupa bertuhan.

Dengan lupa itu pulalah, kehidupan ini dimulai dan diakhiri. Sebagai contoh dalam mengawali dan mengakhiri perkara keseharian, masalah yang dihadapi jikalau sudah dimasukan kedalam kotak lupa, segala masalah itu juga berakhir. Dengan itu, lupa tidak hanya bermakna permulaan kehidupan namun juga bermakna berakhirnya kehidupan yang lain. Oleh karena itu, maka mulai hari ini janganlah anda meremehkan lupa dan memandangnya sebagai hal kecil. Tetaplah serahkan sepenuhnya segala urusan kepada yang mengatur kehidupan ini, sebab dialah sebaik-baik pengatur kehidupan. Perlu dicatat bahwa lupa merupakan mahkota manusia di dunia. Namun demikian, tidak berarti kita berlepas diri dengan dasar lupa. Sebab jikalau bersandar pada yang Maha Mengetahui tentulah kita bisa mawas dari lupa itu sendiri dengan jalan mengingat (dzikir).
 
Memang lupa bukanlah segala-galanya yang menentukan baik-buruknya, benar-salahnya, atau indah-jeleknya kehidupan ini, namun ingat bahwa lupa mampu mengubah seluruh keadaan-keadaan itu, siapapun, dimanapun dan kapanpun itu ketika anda tidak menyerahkannya kepada yang Maha Mengetahui. [SRM]