Advertisement
Tapak Keempat
SEPOTONG SAJAK MALAM
SEPOTONG SAJAK MALAM
Persahabatan itu ibarat setitik air. Dia terikat dalam satu ikatan atomik membentuk setitik air kehidupan. Menarik apa yang ia butuhkan dan melepaskannya ketika ada yang membutuhkannya. Persahabatan itu ibarat energi. Dia mengalir dan mengubah dirinya ketika dibutuhkan pada waktu dan tempat yang pantas untuk dialirinya. Begitu pula aku.
Dua tahun telah berlalu. Aku telah berubah begitu pula kamu, pikirku. Tahun berganti, persahabatanpun berganti. Membentuk satu ikatan baru, untuk kehidupan.
Aku rindu. Rindu pada serpihan hatiku. Rindu pada mahluk yang telah mencabik-cabikku. Entah apa yang telah menggerayangi pikiranku, sampai aku harus rindu pada mahluk seperti kamu. Mungkin karena kamu yang selama ini telah memberikan aku setitik air kehidupan. Setitik kebahagiaan yang sebelumnya belum aku rasakan. Entah mungkin karena rasa itulah yang membawaku kembali ke kota ini.
Tut! Tut! Tut!
Aku sudah lama disini. Sejak ba’da magrib tadi. Pesan singkatmu.
Segera kubalas. Saya jg sudah lama disini. Tapi saya tidak liat ki. Kita dimanakah?
Sebelumnya memang kita sudah janjian tuk ketemu. Hanya sekedar tuk ketemu, tuk saling memandang. Aku tak banyak berharap dari pertemuan ini. Karena kau hanya meminta buku. Buku yang mungkin membantumu dalam profesimu sekarang. Hanya sekedar menyerahkan kumpulan kertas-kertas yang sudah tidak berarti lagi pada diriku.
Jilbab hitam, kemeja garis-garis hitam bercampur warna abu-abu dengan celana hitam buram membuatmu begitu memesona. Di kejauhan aku seakan sudah mengenal dandanan itu, apalagi dengan lenggang yang tak asing bagiku. Itulah dirimu. Berjalan ke arahku.
Ayo kita duduk disana sambil makan. Sambil tanganmu menunjuk ke salah satu arah. Saya lapar nih. Lagian dak enak kalo kita ngobrol disini.
Aku tak banyak berucap. Hanya diam menuruti apa katamu. Seakan aku tersihir, dan patuh pada ajakmu. Mengikuti langkah yang kamu arahkan.
Pertemuan itu begitu singkat. Kau menanyakan banyak hal. Aku hanya membisu. Kau mencoba bercerita seperti dulu. Aku mencoba menerawang masa depanku. Kau bercerita tentang dirimu. Aku hanya menatap sekelilingku. Kau ingin mengajakku dalam ceritamu. Aku mengelak demi untuk suatu perubahan pada diriku. Yang kutahu, aku masing sayang pada dirimu. Tapi waktu dan tempat yang telah memisahkan raga kita. Hatiku masih bersamamu. Jiwa ada di dekatmu. Tapi dirimu tak lagi memberi tempat.
Kau menyuguhkanku menu makanan. Aku tak memilih. Kau memberiku pilihan.
Segera kuserahkan buku dan sekeping compac disc milikmu.
Mau makan apa? Tanyamu.
Nasi campur aja.
Aku bakso tennes mas. Isyaratmu pada pelayanan.
Kau berusaha memberiku senyum termanismu. Aku tak mau melihatnya. Aku takut terbawa oleh senyummu. Aku takut jatuh pada jurang yang kesekian kalinya.
To be continue..