Advertisement
Tapak Ketiga
YANG LAMA BERAHIR, YANG BARU TERLAHIR
YANG LAMA BERAHIR, YANG BARU TERLAHIR
Dia skarang jalan sama teman dekatnya yang selama ini mengejar-ngejarnya. Yang mendamba cintanya. Bisik temanku yang juga sahabat karibmu. Beberapa bulan lalu, aku jarang bertemu denganmu.
Engkau menjauh begitu saja dariku. Tanpa alasan apapun. Kau tiba-tiba menghilang seperti awan. Informasi tentangmu hanya aku dapatkan dari orang-orang yang pernah melihatmu, yang kebetulan mengenal kita pernah bersama.
Waktu kuhabiskan untuk menerima kenyataan ketiadaanmu dari sisiku. Aku berusaha menjalani itu walaupun berat. Kenyataan yang belum aku persiapkan sebelumnya. Kenyataan yang tak terduga. Aktivitasku kembali normal setelah aku kembali bergabung dengan sahabat-sahabat, mereka memberiku banyak tantangan dan pekerjaan yang kadang tak mampu aku selesaikan. Ia telah menjadi pengganti dirimu. Aktivitasku adalah hatiku. Begitulah motoku saat itu. Walau kadang aku harus pulang pagi sebagai konsekuensi dari motoku sendiri.
Hari-hari kulewati dengan keadaan seperti itu. Minggu berganti. Bulan berganti.
Overload, begitulah kata teman yang merawat aku waktu sakit setelah merasakan badanku begitu berat. Nasib tak berpihak kepadaku, pikirku. Ditinggal sendiri dan tinggal sendiri, sakitpun sendiri.
Dia memberiku selimut, karena melihatku menggigil. Memberiku obat demam. Tapi tak kuminum. Aku takut ketergantungan pada obat-obatan buatan pabrik yang tak tahu dampak senyawa kimianya terhadap tubuhku. Maklum kebiasaan yang selalu kupelihara hingga sekarang, aku tak mau mengkonsumsi obat-obatan pabrik modernisme.
Energi baru. Cahaya baru yang mengalir dalam tubuhku, ketika dia duduk disamping ranjang tempat aku terbaring lesu dikamar kumuhku.
Kau baik-baik saja? Tanyanya sambil memegang kepalaku.
Kau kenapa nah..? itumi terlalu banyak begadang. Istarahat saja yang banyak, kamu pasti cepat sembuh kok. Sambil memperbaiki letak selimut yang menutupi badanku.
Dia berlalu dari kamarku tanpa sekata lagi untukku. Tapi meninggalkan energi yang begitu besar untuk kesembuhanku.
Hmm…sambil menarik napas panjang, aku berbisik pada diriku sendiri. Apa lagi yang bakal terjadi pada diriku. Apakah ini suatu peringatan untukku yang memaknai secara berlebihan. Biarlah. Yang pasti, saat ini aku sakit dan harus cepat sembuh. Sambil kukencangkan selimut yang lembut dan harum pemberiannya. Hampir seminggu aku terbaring dikamar lusuh itu. Hampir seminggu pula selimut itu melekat di badanku. Hampir seminggu pula aku tak dikena air mandi. Aku mencium bau badanku seperti bau sampah dipinggir jalan.
Di malam jumat, sebelum subuh aku mandi, mengharumkan badan yang sudah bau tengik ini. Berwudhu dan mengganti pakaian, bukan untuk siap-siap shalat subuh tetapi hanya untuk merenung. Mencoba menghayati setiap kejadian yang telah aku lewati. Mungkin ada hikmah. Mungkin ada petunjuk tentang sesuatu yang tidak aku ketahui. Sekedar mengamalkan fatwa dari para sufi, bahwa merenung sesaat jauh lebih berarti daripada shalat sepuluh ribu tahun. Satu hal yang aku dapati. Aku telah sembuh.
Perempuan bermata sayu. Sangar, tapi bagiku kau menyejukkan.
Memberiku harapan kesembuhanku.
Menatapmu, seakan aku menemukan kedamaian tersendiri. Mungkin baginya tidak seperti yang kurasa.
Kemayu dalam lembayung aku memanggil namamu atau mungkin seperti itulah aku mengenalmu. Panggilan yang kukira tak berlebihan. Tapi itulah namamu, Kemayu.
Terima kasih. Kataku, kuberinya sesungging senyum sambil kuserahkan selimut yang hampir seminggu aku pakai. Telah kucuci dengan menggunakan pengharum agar bau tengik yang melekat selama hampir seminggu bisa sedikit hilang.
***