Iklan

KolomOpiniRefleksi

Dilema "Guru Besar", Kasihan "Guru Kecil"

kumebano
Senin, 18 Juli 2016, 13.53 WIB
Last Updated 2022-04-22T02:36:28Z WIB
Advertisement
Ilustrasi (Sumber OkeZone.com)

 

(Menanggapi info pencabutan tunjangan GB)
Raha, 18 Juli 2016

Entah hiperbolik medsos atau saya yang tak paham. Jika benar kebijakan mencabut tunjangan profesi bagi para Guru Besar, maka Direktur Jenderal SD Iptek dan Dikti hendak bertindak ala preman. Saya bukan Profesor, walau begitu saya sedikit paham soal remeh dan temeh atmosfer riset di Indonesia. Telak, tindakan mengancam Guru Besar itu akan berdampak buruk pada produktivitas riset nasional. Dan karenanya saya tidak setuju dengan rencana itu.

Memang tidak bisa dipungkiri beberapa Guru Besar malah sibuk urus lelang jabatan, jadi dirjen bahkan menteri. Sederhananya (maaf), sibuk cari jabatan. Salah? Tidak!  Tapi itu jelas ditengarai bisa berdampak buruk bagi produktivitas riset nasional. Belum lagi rancunya definisi dan implementasi profesional dosen yang tetap melekatkan jabatan fungsionalnya di luar institusi akademik. Semestinya jabatan fungsional itu ditanggalkan untuk sementara waktu, jika tidak maka tugas-tugas sebagai akademisi tidak boleh ditinggalkan.

Untuk itulah kita patut bertanya, kok ada menteri yang malah dilekatkan jabatan fungsional akademik dibalik namanya, Profesor. Padahal seyogyanya Profesor itu bukanlah gelar akademik melainkan jabatan fungsional akademik. Apa iya melaksanakan tugas pokok dosen? Mengajar, membimbing dan meneliti? Apatah lagi tugas tambahan profesor menyebarluaskan ilmu pengetahuan? Sementara yang bersangkutan sibuk urus birokrasi.

Lalu dimana letak akademiknya seorang pejabat menteri menyandang jabatan fungsional itu? Asu dahlah.. Lihat dan cek sendiri saja peraturan perundangan yang menjelaskan itu. Paling tidak UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permenpan Nomor 17 tahun 2013 yang telah diubah dengan Nomor 49 tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, cukup menjadi acuan untuk meluruskan barang keliru ini. Disana jelas mengatur hak dan kewajiban seorang Guru Besar. Ada tanggungjawab pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian, plus kewajiban khusus menyebarluaskan ilmu pengetahuan.

Jika sudah begini, bukan hanya tunjangan Guru Besar alias Profesor yang mesti dicabut, jika perlu gelar Profesor nya pun patut dicabut.

Tentu tidak semua Guru Besar berprilaku begitu. Dari 5.000 an lebih jumlah Profesor tentu yang "nakal" hanya sebagian kecil, hanya sebesar zarah, kecil sekali. Yang baik sangat banyak. Para Guru Besar (Profesor) tersebar di berbagai kampus terkemuka bahkan lembaga/badan riset di hampir semua K/L. Dan mungkin merekalah yang aktif publikasi selama ini di jurnal internasional. Itu kelihatan dari jumlah publikasi hampir sama dengan jumlah Guru Besar nya. Jangan percaya dengan pernyataan terakhir ini, karena saya tidak riset lho.. Hehehe..

Dari data Kemenristek Dikti menyebutkan, pada 2014 Indonesia hanya menghasilkan 5.499 jurnal internasional, berada jauh di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Malaysia menghasilkan 25.330 jurnal internasional, Singapura 17.198 jurnal, dan Thailand 12.061 jurnal. Tak jelas, apa ini jumlah publikasi per tahun atau total keseluruhan publikasi hingga akhir tahun 2014. Dan apakah jumlah jurnal mereka setara dengan jumlah Guru Besarnya. Anggaplah itu jumlah publikasi tahunan, publikasi per tahun. Menyedihkan memang. Betapa tidak, sungguh tak linier dengan jumlah dosen. Perbandingan saja, jumlah dosen di Kopertis Wilayah IX mencapai angka 5.000 an. Andai mereka produktif dengan 2 jurnal dalam setahun, kita sudah bisa menyaingi Thailand. Sayang sekali, itu baru sebatas mimpi.

Oke, mari kita lihat lebih jujur Pak Ali Gufron, Direktur Jenderal SD Iptek dan Dikti. Minimnya jumlah publikasi internasional tentu terkait erat dengan para Guru Besar itu. Tapi kalau kita jujur, tentu bukan sepenuhnya salah para Guru Besar apatah lagi Guru Kecil. Paling tidak saya bisa tuding hidung institusi yang mengelola riset dan Dikti. Ya betul Kementerian Negara Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mesti bertanggungjawab termasuk bapak, termasuk para wakil rakyat dan temasuk pihak swasta. Namun demikian saya lebih menuding institusi besar, rumah besar Ristek dan Dikti. Bukan karena Menteri tidak bekerja, melainkan sistem yang dibangun belumlah sepadan dengan negara lain.

Misalnya saja, soal kebijakan anggaran riset yang masih minim, bahkan pendanaan riset tahun ini saja (2016) belum jelas kapan cair dana penelitiannya. Belum lagi pertanggungjawaban keuangan terkait pendanaan riset masih model proyek. Hal lain, peningkatan kualitas riset dosen belum merata. Lebih parahnya lagi sarana dan prasarana riset khusus di wilayah timur sangat jauh dari kata memadai (walaupun bukan berarti laboratorium uji di wilayah barat semuanya memadai). Di wilayah barat utamanya daerah jawa relatif tersedia, murah dan mudah. Coba anda riset di wilayah timur? Kata teman, habis di ongkos..!

Lalu dengan tergesa kita ingin publikasi internasional kita setara dengan negara-negara di ASEAN. Hematnya, ini dipaksakan, hasilnya jauh panggang dari api. Jika mau jujur, sudah berapakah signifikansi kebijakan setahun lebih ini sudah mendongkrak jumlah publikasi internasional kita? Kalo belum, mari kita jujur. Ambillah Malay sebagai bahan banding. Pertanyaan kita, sudahkah setara sarana dan prasarana riset kita di Indonesia dengan mereka? Sudahkah setara kualitas SDM nya? Sudahkah setara pendanaan risetnya? Jika belum, jangan terlalu bernafsulah.. Nanti bisa-bisa nafsu kuda tenaga ayam. Jika Pak Ali Gufron mau sedikit menoleh kebelakang beberapa waktu silam, Malay malah datang belajar ke Indonesia dan tidak sedikit guru-guru Indonesia dikirim ke Malay. Pak Ali Gufron tentu tak lupa ini.

Mari kita berhitung. Coba cermati data jumlah publikasinya. Anggaplah kita akan coba samai jumlah publikasi Malay sebanyak 25.330 artikel per tahun. Itu ertinya kita perlu meronggoh kocek APBN lebih dalam. Hitungannya begini, kita semua tahu untuk publikasi di jurnal ilmiah internasional terindeks Scopus atau ISI Thompson tidak ada yang free charge alias semuanya berbayar. Semua dosen juga tahu hal itu.

Yang pernah saya cek, jurnal dibawah bendera ScienceDirect, Elsevier, SRC dan sebangsanya yang terindeks Scopus bahkan memiliki peringkat teratas, paling sedikit nilai charge sebesar USD 3.000. Anggaplah dgn biaya publikasi USD 3.000 walaupun ada nilai dibawah itu dan tentu tidak sedikit nilainya lebih diatas tergantung bidang ilmu dan kebijakan pengelola jurnal. Berarti biaya total publikasi 25.330 jurnal sebesar USD 75.990.000. Kalau nilai itu di rupiahkan, ya kalikan saja kurs rupiah saat ini sebesar IDR 13.000 per USD, hasilnya sebesar IDR 987.870.000.000. Lumayan gede. Sebagai catatan, itu belum termasuk biaya risetnya, hanya untuk publikasi toh. Anggaplah rata-rata satu penelitian paling sedikit satu artikel ilmiah bereputasi. Kita asumsikan biaya satu kali penelitian mumpuni habiskan anggaran sebanyak IDR 50-100 juta. Kita ambil batas bawah IDR 50 juta per penelitian. Berapa dana riset yang dibutuhkan? Kalikan saja dengan target publikasi 25.330 jurnal ilmiah nasional atau internasional. Berapa nilainya? Lumayan besar kan?

Jikapun pemerintah memberi stimulus untuk publikasi internasional itu soal lain. Bahwa dana insentif bagi publikasi internasional konon bakal diberi cuma-cuma bagi dosen sebesar IDR 50 juta per judul jurnal internasional, itu juga lain soal. Andaipun dana cuma-cuma itu benar adanya, maka anggaran yang dibutuhkan untuk mendongkrak produktivitas jurnal ilmiah internasional memang tidak sedikit. Jika memang target publikasi minimal setara Malay sebanyak 25.330 jurnal dikalikan IDR 50 juta, hasilnya sebesar IDR 1.266.500.000.000. Jadi kalo digabungkan antara biaya publikasi dan insentif mencapai lebih dari IDR 2 Triliun, hanya untuk publikasi dan insentif.

Memang uang sejumlah IDR 1,2 triliun itu tetap berada di Indonesia. Tapi tetap saja hampir IDR 1 triliun uang yang berasal anggaran negara dikirim secara cuma-cuma ke luar negeri. Ya, uang sebanyak itu sengaja dikirim keluar hanya untuk mengejar kuantitas publikasi. Lalu kebanyakan jurnal nasional tetap begitu-begitu saja. Saya jauh lebih sepakat bila uang sebanyak itu di investasikan untuk paling tidak dua hal. Pertama, meningkatkan kualifikasi jurnal nasional agar berstandar internasional. Kedua, digunakan untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam publikasi ilmiah agar berkualitas internasional.

Itu baru soal pendanaan, biar lebih keren kita sebut kebijakan anggaran atau keren-keren lagi kita sebut politik anggaran. Disana dibutuhkan "political will". Untuk ini, saya apresiasi para dosen masuk dunia politik-politik ini. Semoga mereka membawa perubahan dan tidak lupa mengajak saya.


Tentu karenanya kita jadi mahfum persoalannya bukan hanya publikasi internasional yang minim dan belum produktifnya para Guru Besar. Bukankah kita juga mesti mengupgrade para Guru Kecil (Calon Guru Besar). Mengapa? Merekalah yang akan melanjutkan aktivitas riset nasional. Merekalah yang memegang tongkat estafet dalam meningkatkan produktivitas riset nasional (ya regenerasilah). Jika para Guru Kecil ini sudah dibekali kemampuan riset yang ditularkan secara TSM (terstruktur, sistematis dan masif), tentu kita bisa berharap produktivitas riset nasional juga meningkat. Mengapa? Jumlah mereka cukup besar. Jika para Guru Kecil ini produktif, angka 25.330 itu tergolong kecil.

Hal lainnya, ya aspek manajemen sebagai sistem. Untuk itulah banyak hal selain anggaran yang minim ikut terlibat dan punya andil dan turut serta menyumbat rendahnya jumlah publikasi internasional. Sebut saja seperti rantai birokrasi yang masih njelimet, bentuk pertanggungjawaban anggaran riset berbau proyek, hingga kerangkeng administrasi yang terus menghantui dosen. Itu semua perlu mendapat perhatian serius dan tentu perlu perbaikan.

Saya lebih percaya, Indonesia bukan tidak memiliki peneliti memadai, melainkan belum diberinya kemampuan meneliti dan publikasi ilmiah yang mumpuni bagi dosen. Belum dioptimalkannya wadah jurnal ilmiah yang saat ini sudah dimiliki lembaga-lembaga profesional maupun kampus. Sebagai catatan, wadah's jurnal's nasional kita tertatih-tatih, hidup segan mati tak mau. Salah duanya tak mampu bersaing karena tidak adanya bahkan sepi sumber pendanaan.

Jika dosen dan wadah publikasi kita diremehkan oleh bangsa sendiri, lalu siapa yang menjaga marwah, harkat dan martabat riset di Indonesia? 

Bukankah jurnal internasional itu dikreasi? Bukankah jurnal internasional bisa berasal dari jurnal nasional?

Rochmady*
Founder Center Study for Coastal and Isle (CSCI)
www.udhany.web.id