Advertisement
Ilustrasi (Sumber OkeZone.com) |
(Menanggapi info pencabutan tunjangan GB)
Raha, 18 Juli 2016
Entah hiperbolik medsos atau saya yang tak paham. Jika
benar kebijakan mencabut tunjangan profesi bagi para Guru Besar, maka Direktur Jenderal
SD Iptek dan Dikti hendak bertindak ala preman. Saya bukan Profesor,
walau begitu saya sedikit paham soal remeh dan temeh atmosfer riset di
Indonesia. Telak, tindakan mengancam Guru Besar itu akan berdampak buruk
pada produktivitas riset nasional. Dan karenanya saya tidak setuju
dengan rencana itu.
Memang tidak bisa dipungkiri beberapa Guru Besar malah
sibuk urus lelang jabatan, jadi dirjen bahkan menteri. Sederhananya
(maaf), sibuk cari jabatan. Salah? Tidak! Tapi itu jelas ditengarai
bisa berdampak buruk bagi produktivitas riset nasional. Belum lagi
rancunya definisi dan implementasi profesional dosen yang tetap
melekatkan jabatan fungsionalnya di luar institusi akademik. Semestinya
jabatan fungsional itu ditanggalkan untuk sementara waktu, jika tidak
maka tugas-tugas sebagai akademisi tidak boleh ditinggalkan.
Untuk itulah kita patut bertanya, kok ada menteri yang
malah dilekatkan jabatan fungsional akademik dibalik namanya, Profesor.
Padahal seyogyanya Profesor itu bukanlah gelar akademik melainkan
jabatan fungsional akademik. Apa iya melaksanakan tugas pokok dosen?
Mengajar, membimbing dan meneliti? Apatah lagi tugas tambahan profesor
menyebarluaskan ilmu pengetahuan? Sementara yang bersangkutan sibuk urus
birokrasi.
Lalu dimana letak akademiknya seorang pejabat menteri
menyandang jabatan fungsional itu? Asu dahlah.. Lihat dan cek sendiri
saja peraturan perundangan yang menjelaskan itu. Paling tidak UU Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permenpan Nomor 17 tahun
2013 yang telah diubah dengan Nomor 49 tahun 2013 tentang Jabatan
Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, cukup menjadi acuan untuk
meluruskan barang keliru ini. Disana jelas mengatur hak dan kewajiban
seorang Guru Besar. Ada tanggungjawab pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian, plus kewajiban khusus menyebarluaskan ilmu
pengetahuan.
Jika sudah begini, bukan hanya tunjangan Guru Besar alias Profesor yang mesti dicabut, jika perlu gelar Profesor nya pun patut dicabut.
Tentu tidak semua Guru Besar berprilaku begitu. Dari 5.000
an lebih jumlah Profesor tentu yang "nakal" hanya sebagian kecil, hanya
sebesar zarah, kecil sekali. Yang baik sangat banyak. Para Guru Besar
(Profesor) tersebar di berbagai kampus terkemuka bahkan lembaga/badan
riset di hampir semua K/L. Dan mungkin merekalah yang aktif publikasi
selama ini di jurnal internasional. Itu kelihatan dari jumlah publikasi
hampir sama dengan jumlah Guru Besar nya. Jangan percaya dengan
pernyataan terakhir ini, karena saya tidak riset lho.. Hehehe..
Dari data Kemenristek Dikti menyebutkan, pada 2014
Indonesia hanya menghasilkan 5.499 jurnal internasional, berada jauh di
bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Malaysia menghasilkan 25.330
jurnal internasional, Singapura 17.198 jurnal, dan Thailand 12.061
jurnal. Tak jelas, apa ini jumlah publikasi per tahun atau total
keseluruhan publikasi hingga akhir tahun 2014. Dan apakah jumlah jurnal
mereka setara dengan jumlah Guru Besarnya. Anggaplah itu jumlah
publikasi tahunan, publikasi per tahun. Menyedihkan memang. Betapa
tidak, sungguh tak linier dengan jumlah dosen. Perbandingan saja, jumlah
dosen di Kopertis Wilayah IX mencapai angka 5.000 an. Andai mereka
produktif dengan 2 jurnal dalam setahun, kita sudah bisa menyaingi
Thailand. Sayang sekali, itu baru sebatas mimpi.
Oke, mari kita lihat lebih jujur Pak Ali Gufron, Direktur
Jenderal SD Iptek dan Dikti. Minimnya jumlah publikasi internasional
tentu terkait erat dengan para Guru Besar itu. Tapi kalau kita jujur,
tentu bukan sepenuhnya salah para Guru Besar apatah lagi Guru Kecil.
Paling tidak saya bisa tuding hidung institusi yang mengelola riset dan
Dikti. Ya betul Kementerian Negara Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi mesti bertanggungjawab termasuk bapak, termasuk para wakil rakyat
dan temasuk pihak swasta. Namun demikian saya lebih menuding institusi
besar, rumah besar Ristek dan Dikti. Bukan karena Menteri tidak bekerja,
melainkan sistem yang dibangun belumlah sepadan dengan negara lain.
Misalnya saja, soal kebijakan anggaran riset yang masih
minim, bahkan pendanaan riset tahun ini saja (2016) belum jelas kapan
cair dana penelitiannya. Belum lagi pertanggungjawaban keuangan terkait
pendanaan riset masih model proyek. Hal lain, peningkatan kualitas riset
dosen belum merata. Lebih parahnya lagi sarana dan prasarana riset
khusus di wilayah timur sangat jauh dari kata memadai (walaupun bukan
berarti laboratorium uji di wilayah barat semuanya memadai). Di wilayah
barat utamanya daerah jawa relatif tersedia, murah dan mudah. Coba anda
riset di wilayah timur? Kata teman, habis di ongkos..!
Lalu dengan tergesa kita ingin publikasi internasional kita
setara dengan negara-negara di ASEAN. Hematnya, ini dipaksakan,
hasilnya jauh panggang dari api. Jika mau jujur, sudah berapakah
signifikansi kebijakan setahun lebih ini sudah mendongkrak jumlah
publikasi internasional kita? Kalo belum, mari kita jujur. Ambillah
Malay sebagai bahan banding. Pertanyaan kita, sudahkah setara sarana dan
prasarana riset kita di Indonesia dengan mereka? Sudahkah setara
kualitas SDM nya? Sudahkah setara pendanaan risetnya? Jika belum, jangan
terlalu bernafsulah.. Nanti bisa-bisa nafsu kuda tenaga ayam. Jika Pak
Ali Gufron mau sedikit menoleh kebelakang beberapa waktu silam, Malay
malah datang belajar ke Indonesia dan tidak sedikit guru-guru Indonesia
dikirim ke Malay. Pak Ali Gufron tentu tak lupa ini.
Mari kita berhitung. Coba cermati data jumlah publikasinya.
Anggaplah kita akan coba samai jumlah publikasi Malay sebanyak 25.330
artikel per tahun. Itu ertinya kita perlu meronggoh kocek APBN lebih
dalam. Hitungannya begini, kita semua tahu untuk publikasi di jurnal
ilmiah internasional terindeks Scopus atau ISI Thompson tidak ada yang
free charge alias semuanya berbayar. Semua dosen juga tahu hal itu.
Yang pernah saya cek, jurnal dibawah bendera ScienceDirect,
Elsevier, SRC dan sebangsanya yang terindeks Scopus bahkan memiliki
peringkat teratas, paling sedikit nilai charge sebesar USD 3.000. Anggaplah dgn biaya publikasi USD 3.000 walaupun ada nilai
dibawah itu dan tentu tidak sedikit nilainya lebih diatas tergantung
bidang ilmu dan kebijakan pengelola jurnal. Berarti biaya total
publikasi 25.330 jurnal sebesar USD 75.990.000. Kalau nilai itu di
rupiahkan, ya kalikan saja kurs rupiah saat ini sebesar IDR 13.000 per
USD, hasilnya sebesar IDR 987.870.000.000. Lumayan gede. Sebagai
catatan, itu belum termasuk biaya risetnya, hanya untuk publikasi toh.
Anggaplah rata-rata satu penelitian paling sedikit satu artikel ilmiah
bereputasi. Kita asumsikan biaya satu kali penelitian mumpuni habiskan
anggaran sebanyak IDR 50-100 juta. Kita ambil batas bawah IDR 50 juta
per penelitian. Berapa dana riset yang dibutuhkan? Kalikan saja dengan
target publikasi 25.330 jurnal ilmiah nasional atau internasional.
Berapa nilainya? Lumayan besar kan?
Jikapun pemerintah memberi stimulus untuk publikasi
internasional itu soal lain. Bahwa dana insentif bagi publikasi
internasional konon bakal diberi cuma-cuma bagi dosen sebesar IDR 50
juta per judul jurnal internasional, itu juga lain soal. Andaipun dana
cuma-cuma itu benar adanya, maka anggaran yang dibutuhkan untuk
mendongkrak produktivitas jurnal ilmiah internasional memang tidak
sedikit. Jika memang target publikasi minimal setara Malay sebanyak
25.330 jurnal dikalikan IDR 50 juta, hasilnya sebesar IDR
1.266.500.000.000. Jadi kalo digabungkan antara biaya publikasi dan
insentif mencapai lebih dari IDR 2 Triliun, hanya untuk publikasi dan
insentif.
Memang uang sejumlah IDR 1,2 triliun itu tetap berada di
Indonesia. Tapi tetap saja hampir IDR 1 triliun uang yang berasal
anggaran negara dikirim secara cuma-cuma ke luar negeri. Ya, uang sebanyak itu sengaja dikirim keluar hanya untuk
mengejar kuantitas publikasi. Lalu kebanyakan jurnal nasional tetap
begitu-begitu saja. Saya jauh lebih sepakat bila uang sebanyak itu di
investasikan untuk paling tidak dua hal. Pertama, meningkatkan
kualifikasi jurnal nasional agar berstandar internasional. Kedua,
digunakan untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam publikasi ilmiah agar
berkualitas internasional.
Itu baru soal pendanaan, biar lebih keren kita sebut
kebijakan anggaran atau keren-keren lagi kita sebut politik anggaran.
Disana dibutuhkan "political will". Untuk ini, saya apresiasi para dosen
masuk dunia politik-politik ini. Semoga mereka membawa perubahan dan
tidak lupa mengajak saya.
Tentu karenanya kita jadi mahfum persoalannya bukan hanya
publikasi internasional yang minim dan belum produktifnya para Guru
Besar. Bukankah kita juga mesti mengupgrade para Guru Kecil (Calon Guru
Besar). Mengapa? Merekalah yang akan melanjutkan aktivitas riset nasional. Merekalah yang memegang tongkat estafet dalam meningkatkan produktivitas riset nasional (ya
regenerasilah). Jika para Guru Kecil ini sudah dibekali kemampuan riset
yang ditularkan secara TSM (terstruktur, sistematis dan masif), tentu kita bisa berharap produktivitas riset nasional juga meningkat. Mengapa? Jumlah
mereka cukup besar. Jika para Guru Kecil ini produktif, angka 25.330 itu
tergolong kecil.
Hal lainnya, ya aspek manajemen sebagai sistem. Untuk
itulah banyak hal selain anggaran yang minim ikut terlibat dan punya
andil dan turut serta menyumbat rendahnya jumlah publikasi
internasional. Sebut saja seperti rantai birokrasi yang masih njelimet,
bentuk pertanggungjawaban anggaran riset berbau proyek, hingga
kerangkeng administrasi yang terus menghantui dosen. Itu semua perlu
mendapat perhatian serius dan tentu perlu perbaikan.
Saya lebih percaya, Indonesia bukan tidak memiliki peneliti
memadai, melainkan belum diberinya kemampuan meneliti dan publikasi
ilmiah yang mumpuni bagi dosen. Belum dioptimalkannya wadah jurnal
ilmiah yang saat ini sudah dimiliki lembaga-lembaga profesional maupun
kampus. Sebagai catatan, wadah's jurnal's nasional kita tertatih-tatih,
hidup segan mati tak mau. Salah duanya tak mampu bersaing karena tidak
adanya bahkan sepi sumber pendanaan.
Jika dosen dan wadah publikasi kita diremehkan oleh bangsa
sendiri, lalu siapa yang menjaga marwah, harkat dan martabat riset di
Indonesia?
Bukankah jurnal internasional itu dikreasi? Bukankah jurnal internasional bisa berasal dari jurnal nasional?