Iklan

Cerita PendekSosial Budaya

Berganti Wajah (Part 1) | Cerpen

kumebano
Kamis, 09 Juni 2011, 23.31 WIB
Last Updated 2016-05-11T11:37:17Z WIB
Advertisement
Ilustrasi Berganti Wajah (Foto by ummi-online.com)

Cerpen Berganti Wajah


Tapak Pertama
PERGANTIAN


Menjumpai takdir. Kau menghilang seperti malam yang tertelan siang. Aku bertanya pada setiap kata berharap menjumpaimu disana. Kau tak menyapaku.
Buumm!
suara gemuruh memecah telingaku. Aku menoleh kearah suara itu. Danau yang kilau disinari bulan, tak ada apa-apa. Menoleh kearah lain, hanya aspal yang telanjang tanpa lalulalang manusia yang sibuk mencari makan. Dari mana suara itu, pikirku. Kutatap gemerlap bintang, memerah, berkilau sahut menyahut. Sinarnya menjuntai, membujur vertikal ke ufuk yang tak berujung. Sinarnya menyilaukan. Gerhana atau kiamatkah? Pikirku.
Buumm!
Buumm!
Buumm!
Suara ledakan kembali sahut menyahut. Kerlap-kerlip, seakan langit sedang berpesta. Suara gaduh, gemuruh bagai halilintar, kilat menyerupai petir langit malam menjadi terang, tak henti-hentinya. Lamunanku lenyap, pupus ditelah suara gemuruh dan kerlap-kerlip warna-warni yang tercipta. Aku tak menyadari malam itu adalah malam pergantian tahun. Ledakan-ledakan itu memang segaja diciptakan, seperti ledakan-ledakan di tanah Palestina. Ledakan disini untuk membuat suasana meriah, sementara di ledakan di Palestina untuk menghilangkan nyawa manusia yang tak berdosa, menghancurkan bangunan, unjuk persenjataan dan kekuatan militer, perampasan hak dan tanah demi kekuasaan.

Malam ini perlahan kuangkat kaki yang tengah bersimbah darah. Luka yang kuperoleh dari gerakan yang tak seharusnya ada. Perlahan tapi pasti, darah bercucuran membuatku pucat dan tak berkutik. Aku mengumpulkan ceceran semangat yang ada. Harapanku tuk melangkah dan beranjak dari sini. Di tempatku terpaku. Berbaur dengan suasana meriah yang gegap gempita bersama gemuruh dan kerlap-kerlip sinar petasan. Inikah malam pergantian itu? Tanyaku. Pergantian untuk mencipta yang baru. Mengganti yang telah usang.

Luka yang menganga dengan darah yang telah membeku diatasnya, tiba-tiba tertutup rapat. Kembali seperti semula. Tak ada luka disana. Di belah betis tempat aku mengayun langkah yang tersisa hanya darah. Darah yang menyelimuti seluruh permukaan kulit yang telah tergores belati saat berpapasan dengan penyamun yang sedang panik menyelamatkan diri. Aku yang kena akibatnya, aku yang kena batunya. Tapi dengan luka itu, membuatku sedikit menyadari akan arti luka. Aku ada dan merasakan kesakitan karenanya.

Kuronggoh sisa-sisa tembakau putih disaku celanaku, sekedar tuk merayakan pesta pergantian ini. Tapi yang tersisa hanya sebatang tembakau dan aku tak punya pematik untuk membakarnya. Membakarnya demi memberiku kebahagiaan menikmati kepunahannya. Tepat dibelakangku, kau berkata begitu pelan, hampir tak terdengar. Hanya ketika kita datang dengan perasaan istimewa maka setiap tempat yang kita datangi akan terasa istimewa pula. Dan hanya ketika kita berbagi maka kenikmatan itu terasa.., katamu. Begitu samar, oleh suara gemuruh ledakan. Terasa pada jiwa yang sedang kosong, aku melanjutkan katamu sambil aku menoleh ke arahmu.

Kau mendatangiku pada waktu yang tak kuduga. Kau menyapa jiwaku dengan kata-kata lembutmu. Kau menyejukan hatiku dengan senyumanmu. Itulah kamu, perempuan berkerudung putih.

To be continued…
(sketsa rembulan dimalam pergantian tahun)

Kuraih telepon seluler itu. Suatu keinginan yang tak bisa kutahankan lagi. Maklum kalo birahi sudah merasuki kepala, aku kepalan tanggung. Berharap menggerayangi keperempuananmu lagi. Seperti dulu. Kita selalu melakukannya dengan penuh Cinta. Cinta yang hanya berisi nafsu dan kenakalan masa muda.

Hasrat tuk menghubungimu kembali muncul. Kucoba mencari-cari nomormu yang namanya pun sengaja aku samarkan agar orang lain tak mengenalnya. Nomormu masih aku simpan di phone book telepon selulerku. Nama dan kenanganmu masih aku simpan di Hatiku. Malam itu aku berulangkali mencoba menghubungi nomor selulermu. Tapi ah! tanganku seolah tertahan. Tertahan oleh sesuatu, entah apa. Aku sendiripun tak tau. Mungkin karena rasa yang selama ini terpendam. Seperti mutiara. Hanya muncul sesekali saat Tridaqna squamosa, sp membuka cangkangnya. Bukan untuk memperlihatkan mutiara yang ia pendam tetapi karena keberadaannya telah sampai waktunya untuk dikeluarkan. Jika tidak, ia akan memanfaatkannya untuk keperluan metabolismenya sendiri. Mutiara itu akan dirombak secara kimiawi dan entah menjadi apa, mungkin akan menjadi sesuatu.

Malam itu aku lewati dengan menghitung lembar burung kertas yang bersusun di sudut kamar. Sengaja aku membuatnya, sekedar untuk mengingatkan aku tentang sesuatu. Sesuatu yang pernah aku dan kamu lewati bersama. Lebih baik aku tidur saja. Siapa tau saja esok kau tergerak untuk menghubungiku. Kilahku. Nafsukupun meleleh seperti es krim yang tak punya bentuk lagi. Hilang diterpa angin.

Sesiang ini, belum juga ada pesan singkat yang masuk atau hanya sekedar missed call dari nomormu. Apa kau memang sibuk atau karena apa?.
Bingung.
Kutelepon saja pikirku. Berulang kali kupencet tanda panggil nomormu. Tapi tak pernah diterima. Tidak ada reaksi apapun darimu. Aku semakin bingung. Ada apa? Kenapa? Apakah aku kembali salah untuk kesekian kalinya? Tanyaku dalam hati.
Mungkin lagi sibuk di kantor. Kilahku, sekedar untuk menghibur diriku sendiri yang lagi kesal.

Tut! Tut! Tut!
Berulang kali. Hanya bunyi seperti itu yang aku dengar dari kejauhan di dalam mesin telepon selulerku. Tidak ada jawaban apapun. Sepuluh. Lima belas atau mungkin berapa puluh kali aku mengulang menghubungimu. Hasil yang aku dapatkan hanya suara perempuan yang tidak aku kehendaki. Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi. Hanya itu. Sampai-sampai temanku mengganti suara itu dengan nada perempuan yang anda hubungi sedang terpakai. Silahkan hubungi perempuan lain.
Memang waktu pulang kantor jam berapa? Tanyaku. Kok sudah jam setengah sembilan malam teleponnya tidak aktif? Tanyaku dalam hati.
Menggerutu.
Apa dia sudah tertidur karena kecapean ya? pikirku mereka-reka. Mungkin memang dia sudah tertidur sejak pulang dari kantor. Kilahku kembali hanya untuk menghibur diri.

Gmn aktvitas kntory hari ini?. Kukirim pesan singkat ke nomormu.
Diam.
Mencoba mereka-reka kemungkinan yang terjadi pada dirimu.
Kulihat kembali telepon selulerku. Sekedar tuk memastikan apakah ada pesan masuk.
Kutunggu. Sudah sepuluh menit. Belum ada pesan masuk.
Aku semakin gamang. Ada apa lagi sih sama dia?
Tut! Tut! Tut! tanda pesan masuk.
Segera kuraih telepon selulerku. Kubuka.
Tlong u k kmps hari ini, pengumumanmu bmasalah. Sebuah pesan dari teman yang selalu mengingatkan aku.
Kesal bercampur was-was dalam hatiku.

Lima belas menit kemudian telepon selulerku bunyi kembali.
Tut! Tut! Tut! Tanda pesan masuk. Segera kubuka.
Cpek skali k hr ini bnyk skali kerjaku.lg pusing k jg ini mau k istrht.
Segera kubalas.
Ya. Istrht miki.

Setiap hari hanya itu komunikasiku denganmu. Pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama pula. Dan akupun menghentikan kebiasaan menghubungimu diwaktu-waktu seperti itu. Selain karena tak punya pulsa, juga karena mengingat kamu yang butuh waktu untuk istirahat. Tapi aku mulai merasakan hal yang aneh. Pertanyaan yang sama, dijawab dengan jawaban yang sama. Apakah kebiasaan ini sudah diantisipasi dengan menyediakan jawaban pertanyaan berulang seperti ini. Bagiku, pertanyaan yang sama akan dijawab dengan jawaban yang berbeda. Pikirku. Dan itu berlangsung hingga hari libur. Aneh.

Aku mulai berpikir tentang hal yang seharusnya tidak aku pikirkan. Malam sabtu dan minggu yang menurutmu lagi sibuk dengan kerjaan kantor. Malam itu aku menghubungimu dengan nomor lain. Teleponnya diterima, tapi sengaja aku tidak berkata apa-apa, hanya untuk mendengarkan apa yang seharusnya aku dengar. Kalau-kalau ada suara aneh. Kaupun tak berkata apa-apa. Hanya detak langkah sepatu dan desahan yang kudengar. Kau mematikan teleponnya. Kembali menghubungimu dengan nomorku sendiri. Tut! Tut! Tut! Kemudian mati sendiri dan tidak ada jawaban. Kembali aku menghubungimu dengan nomor lain. Kau kembali mengangkatnya. Tapi tidak ada sekata apapun yang kau ucapkan, begitupula aku.

Mungkin kau tak mau mendengar suaraku lagi. Mungkin aku terlalu berisik. Banyak wejangan yang tak kurasa. Wejangan yang tak mengalir dalam darahku. Makanya teleponku tau mau diterima. Pikirku. Mungkin aku telah mencari-cari muka di depanmu, yang sebenarnya tak kau butuhkan. Mungkin aku terlalu pede untuk bicara denganmu yang telah kau campakkan tuk kesekian kalinya.


***